dilahirkan dikalangan Bani Isra'il yang pada saat itu dikuasai oleh Raja Fir'aun yang bersikap kejam dan zalim.
Nabi Musa bin Imron bin Qahat bin Lawi bin Ya'qub beribukan Yukabad.
Setelah dewasa Nabi Musa beristrikan putri Nabi Syu'aib yaitu Shafura.
Dalam perjalanan hidup Nabi Musa untuk menegakkan Islam dalam penyebaran risalah yang telah diutus oleh Allah kepadanya, ia telah dipertemukan beberapa orang nabi diantaranya ialah bapak mertuanya Nabi Syu'aib, Nabi Harun dan Nabi Khidhir. Di sini juga diceritakan tentang keterlibatan beberapa orang nabi yang lain di antaranya Nabi Somu'il serta Nabi Daud
Catatan :
Para ahli tafsir berselisih pendapat tentang Syu'aib, mertua Nabi Musa. Sebagian besar berpendapat bahwa ia adalah Nabi Syu'aib A.S. yang diutus sebagai rasul kepada kaum Madyan, sedang yang lain berpendapat bahwa ia adalah orang lain yaitu yang dianggap adalah satu kebetulan namanya Syu'aib juga. Wallahu A'lam bisshawab
Kelahiran Musa Dan Pengasuhnya
Raja Fir'aun yang memerintah Mesir sekitar kelahiran Nabi Musa, adalah seorang raja yang zalim, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Ia memerintah negaranya dengan kekerasan, penindasan dan melakukan sesuatu dengan sewenang-wenang. Rakyatnya hidup dalam ketakutan dan rasa tidak aman tentang jiwa dan harta benda mereka, terutama Bani Isra'il yang menjadi hamba kekejaman, kezaliman dan kesewenang-wenangan dari raja dan orang-orangnya. Mereka merasa tidak tentram dan selalu dalam keadaan gelisah, walau pun berada dalam rumah mereka sendiri. Mereka tidak berani mengangkat kepala bila berhadapan dengan seorang hamba raja, dan berdebar hati mereka karena ketakutan bila mendengar suara pegawai-pegawai kerajaan lalu di sekitar rumah mereka.
Raja Fir'aun yang sedang mabuk kuasa yang tidak terbatas itu, bergelimpangan dalam kenikmatan dan kesenangan duniawi yang tiada taranya, bahkan mengumumkan dirinya sebagai tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya. pada suatu hari beliau terkejut oleh ramalan seorang ahli nujum kerajaan yang dengan tiba-tiba datang menghadap raja dan memberitahu bahwa menurut firasatnya, seorang bayi lelaki akan dilahirkan dari kalangan Bani Isra'il yang kelak akan menjadi musuh kerajaan dan bahkan akan membinasakannya.
Raja Fir'aun segera mengeluarkan perintah agar semua bayi lelaki yang dilahirkan di dalam lingkungan kerajaan Mesir dibunuh dan agar diadakan pengusutan yang teliti sehingga tiada seorang pun dari bayi lelaki, tanpa terkecuali, terhindar dari tindakan itu. Maka dilaksanakanlah perintah raja oleh para pengawal dan tentaranya. Setiap rumah dimasuki dan diselidiki dan setiap perempuan hamil menjadi perhatian mereka pada saat melahirkan bayinya.
Raja Fir'aun menjadi tenang kembali dan merasa aman. setelah mendengar para anggota kerajaannya, bahwa wilayah kerajaannya telah menjadi bersih dan tidak seorang pun dari bayi laki-laki yang masih hidup.
Ia tidak mengetahui bahwa kehendak Allah tidak dapat dibendung dan bahwa takdirnya bila sudah difirman "Kun Fayakun" pasti akan terwujud dan menjadi kenyataan. Tidak sesuatu kekuasaan seberapa pun besarnya dan kekuatan seberapa hebatnya dapat menghalangi atau menggagalkannya.
Raja Fir'aun tidak pernah terlintas dalam fikirannya bahwa kerajaannya yang megah, menurut apa yang telah tersirat dalam Lauhul Mahfudz, akan ditumbangkan oleh seorang bayi yang justru diasuh dan dibesarkan di dalam istananya sendiri, akan diwarisi kelak oleh umat Bani Isra'il yang dimusuhi, dihina, ditindas dan dibatasi kebebasannya. Bayi asuhnya itu ialah laksana bunga mawar yang tumbuh di antara duri-duri yang tajam atau laksana fajar yang timbul menyingsing dari tengah kegelapan yang mencekam.
Yukabad, istri Imron bin Qahat bin Lawi bin Ya'qub sedang duduk seorang diri di salah satu sudut rumahnya menanti datangnya seorang bidan yang akan memberi pertolongan kepadanya melahirkan bayi dari dalam kandungannya itu.
Bidan datang dan lahirlah bayi yang telah dikandungnya selama sembilan bulan dalam keadaan selamat, segar dan sehat. Dengan lahirnya bayi itu, maka hilanglah rasa sakit yang luar biasa dirasakan oleh setiap perempuan yang melahirkan namun setelah diketahui oleh Yukabad bahwa bayinya adalah lelaki maka ia merasa takut kembali. Ia merasa sedih dan khawatir bahwa bayinya yang sangat disayangi itu akan dibunuh oleh orang-orang Fir'aun. Ia mengharapkan agar bidan itu merahasiakan kelahiran bayi itu dari siapa pun.
Bidan yang merasa simpati terhadap bayi yang lucu dan bagus itu serta merasa betapa sedih hati seorang ibu yang akan kehilangan bayi yang baru dilahirkan memberi kesanggupan dan berjanji akan merahasiakan kelahiran bayi itu.
Setelah bayi mencapai tiga bulan, Yukabad tidak merasa tenang dan selalu berada dalam keadaan cemas dan khawatir terhadap keselamatan bayinya. Allah memberi ilham kepadanya agar menyembunyikan bayinya di dalam sebuah peti yang tertutup rapat, kemudian membiarkan peti yang berisi bayinya itu terapung di atas sungai Nil.
Yukabad tidak boleh bersedih dan cemas atas keselamatan bayinya karena Allah menjamin akan mengembalikan bayi itu kepadanya bahkan akan mengutusnya sebagai salah seorang rasul.
Dengan bertawakkal kepada Allah dan kepercayaan penuh terhadap jaminan Illahi, maka dilepaskannya peti bayi oleh Yukabad, setelah ditutup rapat dan dicat dengan warna hitam, terapung dipermukaan air sungai Nil. Kakak Musa diperintahkan oleh ibunya untuk mengawasi dan mengikuti peti rahasia itu agar diketahui di mana ia berlabuh dan ditangan siapa akan jatuh peti yang mengandung arti sangat besar bagi perjalanan sejarah umat manusia.
Alangkah cemasnya hati kakak Musa, ketika melihat dari jauh bahwa peti yang diawasi itu, dijumpai oleh putri raja yang kebetulan berada di tepi sungai Nil bersantai bersama beberapa dayangnya dan dibawanya masuk ke dalam istana dan diserahkan kepada ibunya, istri Fir'aun.
Yukabad yang segera diberitahu oleh anak perempuannya tentang nasib peti itu, menjadi kosonglah hatinya karena sedih dan cepat serta hampir saja membuka rahasia peti itu, andai Allah tidak meneguhkan hatinya dan menguatkan hanya kepada jaminan Allah yang telah diberikan kepadanya.
Raja Fir'aun ketika diberitahu oleh Aisah, istrinya, tentang bayi laki-laki yang ditemui di dalam peti yang terapung di atas permukaan sungai Nil, segera memerintahkan membunuh bayi itu seraya berkata kepada istrinya: "Aku khawatir bahwa inilah bayi yang diramalkan, yang akan menjadi musuh dan penyebab kesedihan kita dan akan membinasakan kerajaan kita yang besar ini." Akan tetapi istri Fir'aun yang sudah terlanjur menaruh simpati dan sayang terhadap bayi yang lucu dan manis itu, berkata kepada suaminya: "Janganlah bayi yang tidak berdosa ini dibunuh. Aku sayang kepadanya dan lebih baik kita ambil dia sebagai anak, kalau-kalau kelak ia akan berguna dan bermanfaat bagi kita. Hatiku sangat tertarik kepadanya dan ia akan menjadi kesayanganku dan kesayangmu".
Demikianlah jika Allah yang Maha Kuasa menghendaki sesuatu maka dimudahkanlah jalan terlaksananya takdir itu. Dan selamatlah nyawa putra Yukabad yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi rasul-Nya, menyampaikan amanat wahyu-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang sudah sesat.
Nama Musa yang telah diberikan kepada bayi itu oleh keluarga Fir'aun, berarti air dan pohon (Mu=air, Sa=pohon) sesuai dengan tempat ditemukannya peti bayi itu.
Didatangkanlah kemudian ke istana beberapa inang untuk menjadi ibu susuan Musa. Akan tetapi setiap inang yang mencoba dan memberi air susunya ditolak oleh bayi Musa. Dalam keadaan istri Fir'aun lagi bingung memikirkan bayi pungutnya yang enggan menyusu dari sekian banyak inang yang didatangkan ke istana, datanglah kakak Musa menawarkan seorang inang lain yang mungkin diterima oleh bayi itu.
Atas pertanyaan keluarga Fir'aun, kalau-kalau ia mengenal keluarga bayi itu, berkatalah kakak Musa: "Aku tidak mengenal siapakah keluarga dan ibu bayi ini. Hanya aku ingin menunjukkan satu keluarga yang baik dan selalu rajin mengasuh anak, kalau-kalau bayi itu dapat menerima air susu ibu keluarga itu".
Anjuran kakak Musa diterima oleh istri Fir'aun dan seketika itu dijemput ibu kandung Musa sebagai inang bayaran. Maka begitu bibir sang bayi menyentuh tetek ibunya, disedotlah air susu ibu kandungnya itu dengan lahapnya. Kemudian diserahkan Musa kepada Yukabad ibunya, untuk diasuh selama waktu menysusu dengan imbalan upah yang besar. Maka dengan demikian terlaksanalah janji Allah kepada Yukabad bahwa ia akan menerima kembali putranya itu.
Setelah selesai waktu menysunya, dikembalikan Musa oleh ibunya ke istana, di mana ia di asuh, dibesarkan dan dididik sebagaimana anak-anak raja yang lain. Ia mengendarai kenderaan Fir'aun dan berpakaian sesuai dengan cara-cara Fir'aun berpakaian sehingga ia dikenal orang sebagai Musa bin Fir'aun.
Bacalah tentang isi cerita di atas di dalam Al-Quran dari ayat 4 - 13 dalam surat "Al-Qashash"
Musa keluar dari Mesir
Sejak ia dikembalikan ke istana oleh ibunya setelah disusui, Musa hidup sebagai salah seorang daripada keluarga kerajaan hingga mencapai usia dewasa, dimana ia memperoleh asuhan dan pendidikan sesuai dengan tradisi istana. Allah mengaruniai hikmah dan pengetahuan sebagai persiapan tugas kenabian dan risalah yang diwahyukan kepadanya. Di samping kesempurnaan dan kekuatan rohani, ia dikaruniai oleh Allah kesempurnaan tubuh dan kekuatan jasmani.
Musa mengetahui dan sadar bahwa ia hanya seorang anak pungut di istana dan tidak ada setitik darah Fir'aun pun mengalir di dalam tubuhnya dan bahwa ia adalah keturunan Bani Isra'il yang ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum Fir'aun. Karenanya ia berjanji kepada dirinya akan menjadi pembela kepada kamunya yang tertindas dan menjadi pelindung bagi golongan yang lemah yang menjadi sasaran kezaliman dan keganasan para penguasa. Demikianlah maka terdorong oleh rasa setia kawannya kepada orang-orang yang teraniaya, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkan ia terpaksa meninggalkan istana dan keluar dari Mesir.
Peristiwa itu terjadi ketika Musa sedang berjalan-jalan di sebuah lorong di waktu tengah hari di mana keadaan kota sunyi sepi ketika penduduknya sedang tidur siang, Ia melihat dua orang berkelahi seorang dari golongan Bani Isra'il bernama Samiri dan seorang lagi dari kaum Fir'aun bernama Fa'tun. Musa yang mendengar teriakan Samiri mengharapkan akan pertolongannya terhadap musuhnya yang lebih kuat dan lebih besar itu, segera melontarkan pukulan dan tumbukannya kepada Fatun yang seketika itu jatuh menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Musa terkejut melihat Fatun, orang Fir'aun itu mati karena tumbukannya yang tidak disengaja dan tidak akan mengharapkan membunuhnya. Ia merasa berdosa dan beristighfar kepada Allah memohon ampun atas perbuatannya yang tidak sengaja, telah melayangkan nyawa salah seorang daripada hamba-hamba-Nya.
Peristiwa matinya Fatun menjadi perbincangan ramai dan menarik para penguasa kerajaan yang menduga bahwa pasti orang-orang Isra'illah yang melakukan perbunuhan itu. Mereka menuntut agar pelakunya diberi hukuman yang berat, bila ia tertangkap.
Anggota dan pasukan keamanan negara di turunkan ke seluruh pelosok kota mencari jejak orang yang telah membunuh Fatun, yang sebenarnya hanya diketahui oleh Samiri dan Musa saja. akan tetapi, walaupun tidak ada orang ketiga yang menyaksikan peristiwa itu, Musa merasa cemas dan takut dan berada dalam keadaan bersedia menghadapi akibat perbuatannya itu bila sampai tercium oleh pihak penguasa.
Alangkah malangnya nasib Musa yang sudah cukup berhati-hati menghindari kemungkinan terbongkarnya rahasia pembunuhan yang ia lakukan tatkala ia terjebak lagi tanpa disengaja dalam suatu perbuatan yang menyebabkan namanya disebut-sebut sebagai pembunuh yang dicari. Musa bertemu lagi dengan Samiri yang telah ditolongnya melawan Fatun, juga dalam keadaan berkelahi untuk keduanya kalinya dengan salah seorang dari kaum Fir'aun. Melihat Musa berteriaklah Samiri meminta pertolongannya. Musa menghampiri mereka yang sedang berkelahi seraya berkata menegur Samiri: "Sesungguhnya engkau adalah seorang yang telah sesat."
Samiri menyangkal bahwa Musa akan membunuhnya ketika ia mendekatinya, lalu berteriaklah Samiri berkata: "Apakah engkau hendak membunuhku sebagaimana engkau telah membunuh seorang kemarin? Rupanya engkau hendak menjadi seorang yang sewenang-wenang di negeri ini dan bukan orang yang mengadilkan kedamaian".
Kata-kata Samiri itu segera tertangkap orang-orang Fir'aun, yang dengan cepat memberitahukannya kepada para penguasa yang memang sedang mencari jejaknya. Maka berundinglah para pembesar dan penguasa Mesir, yang akhirnya memutuskan untuk menangkap Musa dan membunuhnya sebagai balasan terhadap matinya seorang dari kalangan kaum Fir'aun.
Selagi orang-orang Fir'aun mengatur rencana penangkapan Musa, seorang lelaki salah satu daripada sahabatnya datang dari ujung kota memberitahukan kepadanya dan menasehatinya agar segera meninggalkan Mesir, karena para penguasa Mesir telah memutuskan untuk membunuhnya apabila ia ditangkap. lalu keluarlah Musa terburu-buru meninggalkan Mesir, sebelum anggota polisi sempat menutup pintu-pintu gerbangnya.
Tentang isi cerita ini, terdapat dalam al-Quran yang dapat di baca di dalam surat "Al-Qashshas" ayat 14 - 21 ( Al-Qashash : 14 21 )
Musa bertemu Jodoh di kota Madyan
Dengan berdoa kepada Allah: "Ya Tuhanku selamatkanlah aku dari segala tipu daya orang-orang yang zalim" keluarlah Nabi Musa dari kota Mesir seorang diri, tiada pembantu selain inayah Allah tiada kawan selain cahaya Allah dan tiada bekal kecuali bekal iman dan takwa kepada Allah. Penghibur satu-satunya bagi hatinya yang sedih karena meninggalkan tanah airnya ialah bahwa ia telah diselamatkan oleh Allah dari buruan kaum fir'aun yang ganas dan kejam itu.
Setelah menjalani perjalanan selama delapan hari delapan malam dengan berjalan kaki sampai terkupas kedua kulit telapak kakinya, tibalah Musa di kota Madyan yaitu kota Nabi Syu'aib yang terletak di timur jazirah Sinai dan teluk Aqabah di selatan Palestin.
Nabi Musa beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang untuk menghilangkan rasa letihnya karena perjalanan yang jauh, berdiam seorang diri karena nasibnya sebagai salah seorang bekas anggota istana kerajaan yang menjadi seorang pelarian dan buruan. Ia tidak tahu ke mana ia harus pergi dan kepada siapa ia harus bertamu, di tempat di mana ia tidak mengenal dan dikenal orang, tiada sahabat dan saudara. Dalam keadaan demikian terlihatlah olehnya sekumpulan penggembala berdesak-desak mengelilingi sebuah sumber air untuk memberi minum ternakannya masing-masing, sedang tidak jauh dari tempat sumber air itu berdiri dua orang gadis yang menantikan giliran untuk memberi minuman ternakannya, jika para penggembala lelaki itu sudah selesai dengan tugasnya.
Musa merasa kasihan melihat dua orang gadis itu yang sedang menanti lalu dihampirinya dan ditanya : "Gerangan apakah yang kamu tunggu di sini?" Kedua gadis itu menjawab: "Kami hendak mengambil air dan memberi minum ternak kami namun kami tidak dapat berdesak dengan lelaki yang masih berada di situ. Kami menunggu hingga mereka selesai memberi minum terna mereka. Kami harus lakukan sendiri pekerjaan ini karena ayah kami sudah lanjut usia dan tidak dapat berdiri, tidak bisa lagi datang kemari".
Lalu tanpa mengucapkan sepatah kata dia pun mengambilkan timba kedua gadis itu oleh Musa kemudian dikembalikannya kepada mereka setelah terisi air penuh sedang sekeliling sumber air itu masih padat di keliling para pengembala.
Setibanya kedua gadis itu di rumah berceritalah keduanya kepada ayah mereka tentang pengalamannya dengan Nabi Musa yang karena pertolongannya yang tidak diminta itu mereka dapat lebih cepat kembali ke rumah daripada biasanya.
Ayah kedua gadis yang bernama Syu'aib itu tertarik dengan cerita kedua putrinya. Ia ingin berkenalan dengan orang yang baik hati itu yang telah memberi pertolongan tanpa diminta kepada kedua putrinya dan sekaligus menyatakan terimakasih kepadanya. Ia menyuruh salah seorang dari putrinya itu pergi memanggil Musa dan mengundangnya datang ke rumah.
Dengan malu-malu pergilah putri Syu'aib menemui Musa yang masih berada di bawah pohon yang masih melamun. Dalam keadaan letih dan lapar Musa berdoa: "Ya Tuhanku aku sangat memerlukan belas kasihmu dan memerlukan kebaikan sedikit barang makanan yang Engkau turunkan kepadaku."
Berkatalah gadis itu kepada Musa memotong lamunannya: "Ayahku mengharapkan kedatanganmu ke rumah untuk berkenalan dengan engkau serta memberi engkau sekadar upah atas jasamu menolong kami mendapatkan air untuk kami dan terna kami."
Musa sebagai perantau yang masih asing di negeri itu, tiada mengenal dan dikenali orang tanpa berfikir panjang menerima undangan gadis itu dengan senang hati. Ia lalu mengikuti gadis itu menuju ke rumah ayahnya yang bersedia menerimanya dengan penuh ramah-tamah, hormat dan mengucapkan terimakasih.
Dalam berbincang-bincang dan dengan Syu'aib ayah kedua gadis yang sudah lanjut usia itu Musa mengisahkan kepadanya peristiwa yang terjadi pada dirinya di Mesir sehingga terpaksa ia melarikan diri dan keluar meninggalkan tanah airnya untuk menghindari hukuman penyembelihan yang telah direncanakan oleh kaum Fir'aun terhadap dirinya.
Berkata Syu'aib setelah mendengar kisah tamunya: "Engkau telah lepas dari pengejaran dari orang-orang yang zalim dan ganas itu adalah berkat rahmat Tuhan dan pertolongan-Nya. Dan engkau sudah berada di sebuah tempat yang aman di rumah kami ini, di mana engkau akan tinggal dengan tenang dan tenteram selama engkau suka."
Dalam pergaulan sehari-hari selama ia tinggal di rumah Syu'aib sebagai tamu yang dihormati dan disegani Musa telah dapat menawan hati keluarga tuan rumah yang merasa kagum akan keberaniannya, kecerdasannya, kekuatan jasmaninya, perilakunya yang lemah lembut, budi perkertinya yang halus serta akhlaknya yang luhur. yang mana telah menimbulkan pemikiran di dalam hati salah seorang dari kedua puteri Syu'aib untuk mempekerjakan Musa sebagai pembantu mereka.
Berkatalah gadis itu kepada ayahnya: "wahai ayah! Ajaklah Musa sebagai pembantu kami mengurus urusan rumahtangga dan penternakan kami. Ia adalah seorang yang kuat badannya, luhur budi perkertinya, baik hatinya dan bisa dipercayai."
Saran gadis itu disepakati dan diterima baik oleh ayahnya yang memang sudah menjadi pemikirannya sejak Musa tinggal bersamanya di rumah, menunjukkan sikap bergaul yang manis perilaku yang hormat dan sopan serta tangan yang ringan suka bekerja, suka menolong tanpa diminta.
Diajaklah Musa berunding oleh Syu'aib dan berkatalah kepadanya: "Wahai Musa! Tertarik oleh sikapmu yang manis dan cara pergaulanmu yang sopan serta akhlak dan budi perkertimu yang luhur, selama engkau berada di rumah kami dan mengingat akan usiaku yang makin hari makin lanjut, maka aku ingin sekali mengambilmu sebagai menantu, menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua gadisku ini. Jika engkau dengan senang hati menerima tawaranku ini, maka sebagai maskawinnya, aku minta engkau bekerja sebagai pembantu kami selama delapan tahun mengurus penternakan kami dan rumahtangga yang memerlukan tenagamu. Dan aku sangat berterima kasih kepada mu bila engkau secara suka rela mau menambah dua tahun di atas delapan tahun yang menjadi syarat mutlak itu."
Nabi Musa sebagai buruan yang lari dari tanah tumpah darahnya dan berada di negeri orang sebagai perantau, tiada sanak saudara, tiada sahabat telah menerima tawaran Syu'aib itu sebagai karunia dari Tuhan yang akan mengisi kekosongan hidupnya selaku seorang bujang yang memerlukan teman hidup untuk bersamanya menanggung beban kehidupan dengan segala suka dan dukanya.
Tanpa berfikir panjang ia berkata kepada Syu'aib: "Aku merasa sangat bahagia, bahwa paman berkenan menerimaku sebagai menantu, semoga aku tidak mengecewakan harapan paman yang telah berjasa kepada diriku sebagai tamu yang diterima dengan penuh hormat dan ramah tamah, kemudian dijadikannya sebagai menantu. Syarat kerja yang paman kemukakan sebagai maskawin, aku setujui dengan penuh tanggungjawab dan dengan senang hati."
Setelah waktu delapan tahun bekerja sebagai pembantu Syu'aib ditambah dengan suka rela dilampaui oleh Musa, dikawinkanlah ia dengan putrinya yang bernama Shafura. Dan sebagai hadiah perkawinan diberinyalah pasangan pengantin baru itu oleh Syu'aib beberapa ekor kambing untuk dijadikan modal pertama hidupnya yang baru sebagai suami-istri. Pemberian beberpa ekor kambing itu juga merupakan tanda terimaksih Syu'aib kepada Musa yang selama ini di bawah pengurusannya, peternakan Syu'aib menjadi berkembang biak dengan cepat dan memberi hasil serta keuntungan yang berlipat ganda.
Bacalah tentang isi cerita yang terurai ini di dalam ayat 22 sampai ayat 28, surat "Al-Qashash" juz 20, ( Al-Qashash : 22 28 )
Musa A.S. pulang ke Mesir dan menerima Wahyu
Sepuluh tahun lebih Musa meninggalkan Mesir tanah airnya, sejak ia melarikan diri dari buruan kaum Fir'aun. Suatu waktu Nabi Musa rindu kepada tanah air, walaupun ia tidak pernah merasakan kebahagiaan hidup di dalam tanah airnya sendiri. Apa lagi seorang seperti Musa yang mempunyai kenang-kenangan hidup yang baik dan indah selama ia berada di tanah airnya sendiri selaku seorang dari keluarga kerajaan yang megah dan mewah, maka wajarlah bila ia merindukan Mesir tanah tumpah darahnya dan ingin pulang kembali setelah ia beristerikan Shafura, puteri Syu'aib.
Bergegaslah Musa berserta istrinya mengemas barang dan menyediakan kenderaan lalu berpamitan kepada orang tuanya dan bertolaklah menuju ke selatan menghindari jalan umum supaya tidak diketahui oleh orang-orang Fir'aun yang masih mencarinya.
Setibanya di "Thur Sina" tersesatlah Musa kehilangan arah dan bingung manakah yang harus ia tempuh. Dalam keadaan demikian terlihatlah oleh dia sinar api yang menyala-nyala di atas lereng sebuah bukit. Ia berhenti lalu lari ke arah api itu seraya berkata kepada istrinya: "Tinggallah kamu disini menantiku. Aku pergi melihat api yang menyala di atas bukit itu dan segera aku kembali. Mudah-mudahan aku dapat membawa satu berita kepadamu dari tempat api itu atau setidak-tidaknya membawa sesuluh api untuk menghangatkan badanmu yang sedang menggigil kedinginan."
Tatkala Musa sampai ke tempat api itu terdengar oleh dia suara seruan kepadanya datang dari sebatang pohon kayu di pinggir lembah yang sebelah kanannya pada tempat yang diberkahi Allah. Suara seruan yang didengar oleh Musa itu ialah: "Wahai Musa! Aku ini adalah Tuhanmu, maka turunkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci Thuwa. Dan aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah solat untuk mengingat Aku."
Itulah wahyu yang pertama yang diterima langsung oleh Nabi Musa sebagai tanda kenabiannya, di mana ia telah dinyatakan oleh Allah sebagai rasul dan nabi-Nya yang dipilih. Nabi Musa dalam kesempatan bercakap langsung dengan Allah di atas bukit Thur Sina itu telah diberi bekal oleh Allah yang Maha Kuasa dua jenis mukjizat sebagai persiapan untuk menghadapi kaum Fir'aun yang sombong dan zalim itu.
Bertanyalah Allah kepada Musa: "Apakah itu yang engkau pegang dengan tangan kananmu hai Musa!" Suatu pertanyaan yang mengadung arti yang lebih dalam dari apa yang sepintas lalu dapat ditangkap oleh Nabi Musa dengan jawabannya yang sederhana. "Ini adalah tongkatku, aku bersandarkan padanya dan aku pukul daun dengannya untuk makanan kambingku. Selain itu aku dapat pula menggunakan tongkatku untuk keperluan-keperluan lain yang penting bagiku."
Maksud dan arti dari pertanyaan Allah yang nampak sederhana itu baru dimegertikan dan diselami oleh Musa setelah Allah memerintahkan kepadanya agar meletakkan tongkat itu di atas tanah, lalu menjelmalah menjadi seekor ular besar yang merayap dengan cepat sehingga menjadikan Musa lari ketakutan.
Allah berseru kepadanya: "Peganglah ular itu dan jangan takut. Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula."
Maka begitu ular yang sedang merayap itu ditangkap dan dipegang oleh Musa, ia segera kembali menjadi tongkat yang ia terima dari Syu'aib, mertuanya ketika ia bertolak dari Madyan.
Sebagai mukjizat yang kedua, Allah memerintahkan kepada Musa agar mengepitkan tangannya ke ketiaknya yang nyata setelah dilakukannya perintah itu, tangannya menjadi putih cemerlang tanpa cacat atau penyakit.
Bacalah tentang isi cerita di atas dalam surat "Thaahaa" ayat 9 hingga 23 juz 16 , (Thaahaa : 9 23 )
Musa diperintahkan berdakwah kepada Fir'aun
Raja Fir'aun yang telah berkuasa di Mesir telah lama menjalankan pemerintahan yang zalim, kejam dan ganas. Rakyatnya yang terdiri dari bangsa Egypt yang merupakan penduduk pribumi dan bangsa Isra'il yang merupakan golongan pendatang, hidup dalam suasana penindasan, tidak merasa aman untuk nyawa dan harta bendanya.
Tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa pemerintahan terutama ditujukan kepada Bani Isra'il yang tidak diberinya kesempatan hidup tenang dan tenteram. Mereka dikenakan kerja paksa dan diharuskan membayar berbagai pungutan yang tidak dikenakan terhadap penduduk bangsa Egypt, bangsa Fir'aun sendiri.
Selain kezaliman, kekejaman, penindasan dan pemerasan yang ditimpakan oleh Fir'aun atas rakyatnya, terutama kaum Bani Isra'il. ia menyatakan dirinya sebagai tuhan yang harus disembah dan dipuja. Dan dengan demikian ia makin jauh membawa rakyatnya ke jalan yang sesat tanpa pendoman tauhid dan iman, sehingga makin dalamlah mereka terjerumus ke lembah kemaksiatan serta kerusakan moral dan akhlak.
Maka dalam kesempatan bercakap-cakap langsung di bukit Thur Sina itu diperintahkanlah Musa oleh Allah untuk pergi ke Fir'aun sebagai Rasul-Nya, mengajak beriman kepada Allah, menyadarkan dirinya bahwa ia adalah makhluk Allah sebagaimana rakyatnya yang lain, yang tidak sepatutnya menuntut orang menyembahnya sebagi tuhan dan bahwa Tuhan yang wajib disembah olehnya dan oleh semua manusia adalah Tuhan yang Maha Esa yang telah menciptakan alam semesta ini.
Nabi Musa dalam perjalanannya menuju kota Mesir setelah meninggalkan Madyan, selalu dibayangi oleh ketakutan kalau-kalua peristiwa pembunuhan yang telah dilakukan sepuluh tahun yang lalu itu, belum terlupakan dan masih belum hilang dari ingatan para pembesar kerajaan Fir'aun. Ia tidak mengabaikan kemungkinan bahwa mereka akan melakukan pembalasan terhadap perbuatan yang ia tidak sengaja itu dengan hukuman pembunuhan atas dirinya bila ia sudah berada di tengah-tengah mereka. Ia hanya terdorong rasa rindunya yang sangat besar kepada tanah tumpah darahnya dengan memberanikan diri kembali ke Mesir tanpa memperdulikan akibat yang mungkin akan dihadapi.
Jika pada waktu bertolak dari Madyan dan selama perjalannya ke Thur Sina. Nabi Musa dibayangi dengan rasa takut akan pembalasan Fir'aun, Maka dengan perintah Allah yang berfirman maksudnya :
"Pergilah engkau ke Fir'aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas, segala bayangan itu dilempar jauh-jauh dari fikirannya dan bertekad akan melaksanakan perintah Allah menghadapi Fir'aun apa pun akan terjadi pada dirinya. Hanya untuk menenteramkan hatinya berucaplah Musa kepada Allah: "Aku telah membunuh seorang daripada mereka, maka aku khawatir mereka akan membalas membunuhku, berikanlah seorang pembantu dari keluargaku sendiri, yaitu saudaraku Harun untuk menyertaiku dalam melakukan tugasku meneguhkan hatiku dan menguatkan tekadku menghadapi orang-orang kafir itu apalagi Harun saudaraku itu lebih lancar lidahnya dan lebih pantas daripada diriku untuk berdebat."
Allah berkenan mengabulkan permohonan Musa, maka digerakkanlah hati Harun yang ketika itu masih berada di Mesir untuk pergi menemui Musa mendampinginya dan bersama-sama pergilah mereka ke istana Fir'aun dengan diiringi firman Allah: "Janganlah kamu berdua takut dan khawatir akan disiksa oleh Fir'aun. Aku menyertai kamu berdua dan Aku mendengar serta melihat dan mengetahui apa yang akan terjadi antara kamu dan Fir'aun. Berdakwahlah kamu kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut sadarkanlah ia dari kesesatannya dan ajaklah ia beriman dan bertauhid, meninggalkan kezalimannya kalau-kalau dengan sikap yang lemah lembut daripada kamu berdua ia akan ingat pada kesesatan dirinya dan takut akan akibat kesombongannya."
Bacalah tentang isi cerita di atas di dalam ayat 33 hingga ayat 35 surat "Al-Qashash" dan ayat 42 hingga ayat 47 surat "Thaha".
Dialog antara Musa dengan Fir'aun
Diperolehi kesempatan oleh Musa dan Harun, menemui raja Fir'aun yang menyatakan dirinya sebagai tuhan itu, setelah menempuh beberapa rintangan yang umum dilalui oleh orang yang ingin bertemu dengan raja pada waktu itu. Pertemuan Musa dan Harun dengan Fir'aun dihadiri pula oleh beberapa anggota pemerintahan dan para penasihatnya.
Bertanya Fir'aun kepada mereka berdua: "Siapakah kamu berdua ini?"
Musa menjawab: "Kami, Musa dan Harun adalah utusan Allah kepadamu agar engkau membebaskan Bani Isra'il dari perhambaan dan penindasanmu dan menyerahkan mereka kepada kami agar menyebah kepada Allah dan menghindari siksaanmu."
Fir'aun yang segera mengenal Musa berkata kepadanya: "Bukankah engkau adalah Musa yang telah kami mengasuhmu sejak waktu bayimu dan tinggal bersama kami dalam istana sampai mencapai usia remajamu, mendapat pendidikan dan pengajaran yang menjadikan engkau pandai? Dan bukankah engkau yang melakukan pembunuhan terhadap diri seorang daripada golongan kami? Sudahkah engkau lupa itu semuanya dan tidak ingat akan kebaikan dan jasa kami kepada kamu?"
Musa menjawab: "Bahwasanya engkau telah memelihara aku sejak waktu bayiku, itu bukanlah suatu jasa yang dapat engkau banggakan. Karena jatuhnya aku ke dalam tanganmu adalah akibat kekejaman dan kezalimanmu tatkala engkau memerintah agar orang-orangmu menyembelih setiap bayi-bayi laki yang lahir, sehingga ibu terpaksa membiarkan aku terapung di permukaan sungai Nil di dalam sebuah peti yang kemudian dipungut oleh isterimu dan selamatlah aku dari penyembelihan yang engkau perintahkan. Sedang mengenai pembunuhan yang telah aku lakukan itu adalah akibat godaan syetan yang menyesatkan, namun peristiwa itu akhirnya merupakan suatu rahmat dan berkah yang tersembunyi bagiku. Sebab dalam perantauanku setelah aku melarikan diri dari negerimu, Allah mengaruniai aku dengan hikmah dan ilmu serta mengutus aku sebagai Rasul dan utusan-Nya. Maka dalam rangka tugasku sebagai Rasul datanglah aku kepadamu atas perintah Allah untuk mengajak engkau dan kaummu menyembah Allah dan meninggalkan kezaliman dan penindasanmu terhadap Bani Isra'il."
Fir'aun bertanya: "Siapakah Tuhan yang engkau sebut-sebut itu, hai Musa? Adakah tuhan di atas bumi ini selain aku yang patut di sembah dan dipuja?"
Musa menjawab: "Ya, yaitu Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu serta Tuhan seru sekalian alam."
Tanya Fir'aun: "Siapakah Tuhan seru sekali alam itu?"
Musa menjawab: "Ialah Tuhan langit dan bumi dan segala apa yang ada antara langit dan bumi."
Berkata Fir'aun kepada para penasehatnya dan pembesar-pembesar kerajaan yang berada disekitarnya. Sesungguhnya Rasul yang diutus kepada kamu ini adalah seorang yang gila kemudian ia balik bertanya kepada Musa dan Harun: "Siapakah Tuhan kamu berdua?"
Musa menjawab: "Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap makhluk sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberi petunjuk kepadanya."
Fir'aun bertanya: "Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu yang tidak mempercayai apa yang engkau ajarkan ini dan malahan menyembah berhala dan patung-patung?"
Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku. Jika Dia telah menurunkan azab dan siksanya di atas mereka maka itu adalah karena kesombongan serta keengganan mereka kembali ke jalan yang benar. Jika Dia menunda azab dan siksa mereka hingga hari kiamat, maka itu adalah kehendak-Nya yang hikmahnya kami belum mengetahuinya. Allah telah mewahyukan kepada kami bahwa azab dan siksanya adalah jalan yang benar."
Fir'aun yang sudah tidak berdaya menolak dalil-dalil Nabi Musa yang diucapkan secara tegas dan berani merasa tersinggung kehormatannya sebagai raja yang telah mempertuhankan dirinya lalu menunjukan amarahnya dan berkata kepada Musa secara mengancam: "Hai Musa! jika engkau mengakui tuhan selain aku, maka pasti engkau akan kumasukkan ke dalam penjara."
Musa menjawab: "Apakah engkau akan memenjarakan aku walaupun aku dapat memberikan kepadamu tanda-tanda yang membuktikan kebenaran dakwahku?"
Fir'aun menantang dengan berkata: "Datangkanlah tanda-tanda dan bukti-bukti yang nyata yang dapat membuktikan kebenaran kata-katamu jika engkau benar-benar tiak berdusta."
Dialog antara Musa dan Fir'aun dapat dibaca dalam surat "Asy-Syu'ara" ayat 18 hingga ayat 31 juz 19. ( Asy-Syura : 18 31 )
Musa memperlihatkan dua mukjizat kepada Fir'aun
Menjawab tantangan Fir'aun yang menuntut bukti atas kebenarannya Musa dengan meletakkan tongkat mukjizatnya di atas yang segera menjelma menjadi seekor ular besar yang melata menghala ke Fir'aun. Karena ketakutan melompat lari dari singgahsananya melarikan diri seraya berseru kepada Musa: "Hai Musa demi asuhanku kepadamu selama delapan belas tahun panggillah kembali ularmu itu." Kemudian dipeganglah ular itu oleh Musa dan kembali menjadi tongkat biasa.
Berkata Fir'aun kepada Musa setelah hilang dari rasa heran dan takutnya: "Adakah bukti yang dapat engkau tunjukkan kepadaku?"
"Ya, lihatlah." Musa menjawab serta memasukkan tangannya ke dalam saku bajunya. Kemudian tatkala tangannya dikeluarkan dari sakunya, bersinarlah tangan Musa itu menyilaukan mata Fir'aun itu dan orang-orang yang sedang berada disekelilingnya.
Fir'aun sebagai raja yang menyatakan dirinya sebagai tuhan tentu tidak akan mudah begitu saja menyerah kepada Musa bekas anak pungutnya walaupun kepadanya telah diperlihatkan dua mukjizat. Ia bahkan berkata kepada kaumnya yang ia khawatir akan terpengaruh oleh kedua mukjizat Musa itu bahwa itu semuanya adalah perbuatan sihir dan bahwa Musa dan Harun adalah ahli sihir yang datang dengan maksud menguasai Mesir dan para penduduknya akan kekuatan dengan sihirnya itu.
Fir'aun dianjurkan oleh penasihatnya yang dikepalai oleh Haman agar mematahkan sihir Musa dan Harun itu dengan mengumpulkan ahli-ahli sihir yang terkenal dari seluruh daerah kerajaan untuk bertanding melawan Musa dan Harun. Anjuran itu disetujui oleh Fir'aun yang merasa itu adalah fikiran yang tepat dan jalan yang terbaik untuk melumpuhkan kedua mukjizat Allah yang oleh mereka dianggapnya sebagai sihir. Anjuran itu lalu ditawarkan kepada Musa yang seketika tanpa ragu-ragu sedikit pun menerima tentangan Fir'aun untuk beradu dan bertanding melawan ahli-ahli sihir. Musa berkeyakinan penuh bahwa dengan perlindung Allah ia akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu, pertandingan antara perbuatan sihir yang diilhami oleh syetan melawan mukjizat yang dikaruniai oleh Allah.
Pada suatu hari raya kerajaan telah bersetuju untuk mengadakan hari pertandingan sihir maka berdatangan penduduk kota menuju ke tempat yang telah ditentukan untuk menyaksikan perlombaan kepandaian menyihir yang untuk pertama kalinya diadakan di kota Mesir. Juga sudah berada di tempat ahli-ahli sihir yang terpandai yang telah dikumpulkan dari seluruh wilayah kerajaan masing-masing membawa tongkat, tali dan lain-lain alat sihirnya. mereka cukup bersemangat dan akan berusaha sepenuh kepandaian mereka untuk memenangkan pertandingan. mereka telah memperoleh janji dari Fir'aun akan diberi hadiah dan uang dalam jumlah yang besar bila berhasil mengalahkan Musa dengan mematahkan daya sihirnya.
Setelah segala sesuatu selesai disiapkan dan masing-masing pembesar negeri sudah mengambil tempatnya mengelilingi raja Fir'aun yang telah duduk di atas kursi singgahsananya maka dinyatakanlah pertandingan dimulai. Kemudian atas persetujuan Musa dipersilakan para lawannya beraksi lebih dahulu mempertunjukan kepandai sihirnya.
Segeralah ahli-ahli sihir Fir'aun menunjukan aksinya melemparkan tongkat dan tali-temali mereka ke tengah-tengah lapangan. Musa merasa takut ketika terbayang kepadanya bahwa tongkat-tongkat dan tali-tali itu seakan-akan ular-ular yang merayap cepat. Namun Allah tidak mebiarkan hamba utusan-Nya berkecil hati menghadapi tipu-daya orang-orang kafir itu.
Allah berfirman kepada Musa disaat ia merasa cemas itu: "Janganlah engkau merasa takut dan cemas hai Musa! engkau adalah yang lebih unggul dan akan menang dalam pertandingan ini. Lemparkanlah yang ada ditanganmu segera."
Para ahli-ahli sihir yang pandai dalam bidangnya itu tercengang ketika melihat ular besar yang menjelma dari tongkat Nabi Musa dan menelan ular-ular dan segala apa yang terbayang sebagai hasil tipu sihir mereka. mereka segera menyerah kalah bertunduk dan bersujud (kepada Allah) dihadapan Musa seraya berkata: "Itu bukanlah perbuatan sihir yang kami kenal yang diilhamkan oleh syetan tetapi sesuatu yang digerakkan oleh kekuatan ghaib yang mengatakan kebenaran kata-kata Musa dan Harun maka tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mempercayai risalah mereka dan beriman kepada Tuhan mereka sesudah apa yang kami lihat dan saksikan dengan mata kepala kami sendiri."
Fir'aun raja yang sombong yang menuntut persembahan dari rakyatnya sebagai tuhan segera membelalakkan matanya tanda marah dan jengkel melihat ahli-ahli sihirnya begitu cepat menyerah kalah kepada Musa bahkan menyatakan beriman kepada Tuhannya dan kepada kenabiannya serta menjadi pengikut-pengikutnya. Tindakan mereka itu dianggapnya sebagai pelanggaran terhadap kekuasaannya, penentangan terhadap ketuhanannya dan merupakan suatu tamparan bagi kewibawaan serta prestasinya.
Ia berkata kepada mereka: "Adakah kamu berani beriman kepada Musa dan menyerah kepada keputusannya sebelum aku izinkan kepada kamu?" Bukankah ini suatu persekongkolan daripada kamu terhadapku? Musa dapat mengalahkan kamu sebab ia mungkin guru dan pembesar yang telah mengajarkan seni sihir kepadamu dan kamu telah mengatur bersama-samanya tindakan yang kamu sandiwarakan di depanku hari ini. Aku tidak akan tinggal diam menghadapi tindakan khianatmu ini. Akanku potong tangan-tangan dan kaki-kakimu serta akanku salibkan kamu semua pada pangkal pohon kurma sebagai hukuman dan balasan bagi tindakan khianatmu ini."
Ancaman Fir'aun itu disambut mereka dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Karena Allah telah membuka mata hati mereka dengan cahaya iman sehingga tidak akan terpengaruh dengan kata-kata kebatilan yang menyesatkan atau ancaman Fir'aun yang menakutkan. mereka sebagai orang-orang yang ahli dalam ilmu dan seni sihir dapat membedakan yang mana satu sihir dan yang mana bukan. Maka sekali mereka diyakinkan dengan mukjizat Nabi Musa yang membuktikan kebenaran kenabiannya tidaklah keyakinan itu akan dapat digoyahkan oleh ancaman apa pun.
Berkata mereka kepada Fir'aun menanggapi ancamannya: "Kami telah memdapat bukti-bukti yang nyata dan kami tidak akan mengabaikan kenyataan itu hanya untuk memenuhi kehendak dan keinginanmu. Kami akan berjalan terus megikuti jejak dan tuntunan Musa dan Harun sebagai utusan oleh yang benar. Maka terserah kepadamu untuk memutuskan apa yang engkau hendak putuskan terhadap diri kami. Keputusan kamu hanya berlaku di dunia ini sedang kami mengharapkan pahala Allah di akhirat yang kekal dan abadi."
Bacalah tentang isi cerita di atas dalam surat "Asy-Syu'ara" ayat 32 hingga ayat 51 juz 19, (Asy-Syu'ara : 32 51 )
Fir'aun tetap keras kepala dan semakin bingung
Nabi Musa yang telah mengalahkan ahli-ahli sihir dengan kedua mukjizatnya makin meluas pengaruhnya, sedang Fir'aun dengan kekalahan ahli sihirnya merasa kewibawaannya merosot dan kehormatannya menurun. ia khawatir jika gerakan Musa tidak segera dipatahkan akan mengancam keselamatan kerajaannya serta kekekalan mahkotanya. Para penasihat dan pembantu-pembantu terdekatnya tidak berusaha menghilangkan rasa kecemasan dan kekhawatirannya, tetapi mereka sebaliknya makin membakar dadanya dan makin menakuti-nakutinya.
mereka berkata kepadanya: "Apakah engkau akan terus membiarkan Musa dan kaumnya bergerak secara bebas dan meracuni rakyat dengan macam-macam kepercayaan dan ajaran-ajaran yang menyimpang dari apa yang telah kita warisi dari nenek-moyang kita? Tidakkah engkau sadar bahwa rakyat kita makin lama makin terpengaruh oleh hasutan-hasutan Musa. sehingga lama-kelamaan niscaya kita dan tuhan-tuhan kita akan ditinggalkan oleh rakyat kita dan pada akhirnya akan hancur binasalah negara dan kerajaanmu yang megah ini."
Fir'aun menjawab: "Apa yang kamu unkapkan itu sudah menjadi perhatianku sejak dikalahkannya ahli-ahli sihir kita oleh Musa. Dan memang kalau kita membiarkan Musa terus melebarkan sayapnya dan meluaskan pengaruhnya di kalangan pengikut-pengikutnya yang makin lama makin bertambah jumlahnya, pasti pada akhirnya akan merusak adab hidup masyarakat negara kita serta membawa kehancuran dan kebinasaan bagi kerajaan kita yang megah ini. karenanya aku telah merencanakan akan bertindak terhadap Bani Isra'il dengan membunuh setiap orang lelaki dan hanya wanita saja akanku biarkan hidup."
Rencana jahat fir'aun diterapkan oleh pegawai dan kaki tangan kerajaannya. Aneka ragam gangguan dan macam-macam tindakan kejam ditimpakan atas Bani Isra'il yang memang menurut anggapan masyarakat, mereka itu adalah rakyat kelas kambing dalam kerajaan Fir'aun yang zalim itu. Dengan makin meningkatnya kezaliman dan penindasan yang mereka terima dari kerajaan Fir'aun, datanglah Bani Isra'il kepada Nabi Musa, mengharapkan pertolongan dan perlindungannya. Nabi Musa tidak dapat berbuat banyak pada waktu itu untuk Bani Isra'il yang tertindas dan teraniaya. Ia hanya menenteramkan hati mereka, bahwa akan tiba saatnya kelak, dimana mereka akan dibebaskan oleh Allah dari segala penderitaan yang mereka alami. Dianjurkan oleh Nabi Musa agar mereka bersabar dan bertawakkal seraya memohon kepada Allah agar Allah memberikan pertolongan dan perlindungan-Nya karena Allah telah menjanjikan akan mewariskan bumi-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang soleh, sabar dan bertakwa!
Fir'aun bertujuan melemahkan kedudukan Nabi Musa dengan tindakan kejamnya terhadap Bani Isra'il yang merupakan kaumnya, bahkan tulang belakang Nabi Nusa. Akan tetapi gerak dakwah Nabi Musa tidak sedikit pun terhambat oleh tindakan Fir'aun itu. Demikian pula tidak seorang pun daripada pengikut-pengikutnya yang terpengaruh dengan tindakan Fir'aun itu. Sehingga tidak menjadi luntur iman dan keyakinan mereka yang sudah bulat terhadap risalah Musa. Karena sasaran yang dituju dengan tindakan kekejaman yang tidak berperikamanusiaan itu tidak tercapai dan tidak dapat menerima dakwah Nabi Musa dan para pengikutnya, yang dilihatnya bahkan semakin bersemangat menyiarkan ajaran iman dan tauhid, maka Fir'aun tidak mempunyai pilihan lain selain harus menyingkirkan orang yang menjadi pengikutnya, yaitu dengan membunuh Nabi Musa.
Fir'aun memanggil para penasihat dan pembesar-pembesar kerajaannya untuk bermesyuawarah dan merencanakan pembunuhan Musa. Di antara mereka yang di undang itu terdapat seorang mukmin dari Keluarga Fir'aun yang merahasiakan imannya.
Di tengah-tengah perdebatan dan perundingan yang berlangsung dalam pertemuan yang diadakan oleh Fir'aun untuk membicarakan cara pembunuhan Nabi Musa itu, bangkitlah berdiri mukmin itu mengucapkan pembelaannya terhadap Nabi Musa dan nasehat serta tuntunan bagi mereka yang hadir. Ia berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang lelaki yang tidak berdosa, hanya berkata bahwa Allah adalah Tuhannya? Padahal ia menyatakan iman dan kepercayaannya itu kepada kamu bukan tanpa dalil. Ia telah menunjukkan kepada kamu bukti-bukti yang nyata untuk menyakinkan kamu akan kebenaran ajarannya. Jika dia seorang pendusta, maka dia sendirilah yang akan menanggung dosa akibat dustanya. Namun jika ia adalah benar dalam kata-katanya, maka niscaya akan menimpa kepada kamu bencana azab yang telah dijanjikan olehnya. Dan dalam keadaan yang demikian siapakah yang akan menolong kamu dari azab Allah yang telah dijanjikan itu?"
Fir'aun memotong pidato orang mukmin itu dengan berkata: "Rencanaku harus terlaksana dan Musa harus dibunuh. Aku tidak mengemukakan kepadamu melainkan apa yang aku pandang baik dan aku tidak menunjukkan kepadamu melainkan jalan yang benar, jalan yang akan menyelamatkan kerajaan dan negara."
Berucap orang mukmin dari keluarga Fir'aun itu melanjutkan: "Sesungguhnya aku khawatir, jika kamu tetap berkeras kepala dan enggan menempuh jalan yang benar yang dibawa oleh para nabi-nabi, bahwa kamu akan ditimpa azab dan siksa yang membinasakan, sebagaimana telah dialami oleh kaum Nuh, kaum Aad, kaum Tsamud dan umat-umat yang datang sesudah mereka. Apa yang telah dialami oleh kaum-kaum itu adalah akibat kesombongan mereka, karena Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya".
Mukmin itu meneruskan nasihatnya:"Wahai kaumku! Sesungguhnya aku khawatir kamu akan menerima siksa dan azab Tuhan di hari qiamat kelak, di mana kamu akan berpaling kebelakang, tidak seorang pun akan dapat menyelamatkan kamu itu dari siksa Allah. Hai kaum ikutilah nasehatku, aku hanya ingin kebaikan bagimu dan mengajak kamu ke jalan yang benar. Ketahuilah bahwa kehidupan di dunia ini hanya merupakan kesenangan sementara, sedangkan kesenangan dan kebahagiaan yang kekal adalah di akhirat kelak."
Orang mukmin dari keluarga Fir'aun itu tidak dapat mengubah sikap Fir'aun dan pengikut-pemgikutnya, walaupun ia telah berusaha dengan menggunakan kecekapan berpidatonya.
Fir'aun dan pengikut-pengikutnya bahkan menganjurkan kepada orang mukmin itu, agar meninggalkan sikapnya yang membela Musa dan menyetujui rencana jahat mereka. Ia dinasehati untuk melepaskan pendiriannya yang mendukung Musa dan mengabungkan diri dalam barisan mereka menentang Musa dan segala ajarannya. Ia diancam dengan dikenakan tindakan kekerasan bila ia tidak mau mengubah sikap mendukung kepada Musa secara suka rela.
Berkata orang mukmin itu menanggapi anjuran Fir'aun: "Wahai kaumku, sangat aneh sekali sikap dan pendirianmu, aku berseru kepada kamu untuk kebaikan dan keselamatanmu, kamu berseru kepadaku untuk berkufur kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan apa yang aku tidak ketahui, sedang aku berseru kepadamu untuk beriman kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa, Maha Perkasa, lagi Maha Pengampun. Sudah pasti dan tidak dapat diragukan lagi, bahwa apa yang kamu serukan kepadaku itu tidak akan menolongku dari murka dan siksa Allah di dunia maupun di akhirat. Dan sesungguhnya kamu sekalian akan kembali kepada Allah yang akan memberi pahala surga bagi orang-orang yang soleh, bertakwa dan beriman, sedang orang-orang kafir yang telah melampaui batas akan diberi ganjaran dengan api neraka. Hai kaumku perhatikanlah nasehat dan peringatanku ini. Kamu akan menyadari kebenaran kata-kataku ini kelak bila sudah tidak berguna lagi orang menyesal atau merasa susah karena perbuatan yang telah dilakukan. Aku hanya menyerahkan urusan ku dan nasibku kepada Allah. Dialah yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat perbuatan dan kelakuan hamba-hamba-Nya."
Bacalah tentang isi cerita di atas dalam surat "Al-A'raaf" ayat 127 sehingga ayat 129 juz 9 dan surat "Al-Mukmin" ayat 28 hingga ayat 33 dan ayat 38 hingga ayat 45 juz 24
Fir'aun menghina dan mengejek Musa
Selain tindakan kekerasan yang ditimpakan ke atas Bani Isra'il kaumnya Nabi Musa, Fir'aun melontarkan penghinaan dan kata-kata ejekan terhadap Nabi Musa dalam usahanya memerangi dan membendung pengaruh Nabi Musa yang semakin bertambah semenjak ia keluar sebagai pemenang dalam pertandingan melawan tukang-tukang sihir kaum Fir'aun.
Berkata Fir'aun kepada pembesar-pembesar kerajaannya: "Biarkanlah aku membunuh Musa dan biarlah ia memohon dari Tuhannya untuk melindunginya. Aku ingin tahu sampai sejauh mana ia dapat melepaskan diri dari kekuasaanku dan biarlah ia membuktikan kebenaran kata-kata, bahwa Tuhannya akan melindunginya dari segala tipu daya musuh-musuhnya."
Dalam lain kesempatan Fir'aun berkata kepada rakyatnya yang sudah diperhambakan jiwanya, terbiasa memuja-mujanya, mengiakan kata-katanya dan mengaminkan segala perintahnya: "Hai rakyatku! Tidakkah kamu melihat bahwa aku memiliki kerajaan Mesir yang megah dan besar ini di mana sungai-sungai mengalir dibawah telapak kakiku, sungai-sungai yang memberi kemakmuran hidup dan kebahagiaan hidup bagi rakyatku? Dan tidakkah kamu melihat kekuasaanku yang luas dan ketaatan rakyatku yang bulat kepadaku? Bukankah aku lebih baik dan lebih agung dari Musa yang hina itu, yang tidak pantas menguraikan isi hatinya dan menerangkan maksud tujuannya. Megapa Tuhannya tidak memakaikan gelang emas, sebagaimana lazimnya orang-orang yang diangkat menjadi raja, pemimpin atau pembesar? Atau mengapa ia tidak diiringi oleh malaikat-malaikat sebagai tanda kebesarannya dan bukti kebenarannya bahwa ia adalah utusan Tuhannya?"
Kelompok orang yang mendengar kata-kata Fir'aun itu mengiyakan dan membenarkan kata-kata rajanya serta menyatakan kepatuhan yang bulat kepada segala perintahnya sebagai warga yang setia kepada rajanya, namun zalim dan fasiq terhadap Tuhannya.
Akhirnya kesabaran Nabi Musa sampai pada puncaknya, melihat Fir'aun dan pembantu-pambantunya tetap berkeras kepala menentang dakwahnya, mendustakan risalahnya dan makin memperhebatkan tindakan kejamnya terhadap kaum Bani Isra'il terutama para pengikutnya yang menyembunyikan imannya karena ketakutan daripada kejaran Fir'aun dan pembalasannya yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Maka disampaikan oleh Nabi Musa kepada mereka bahwa Allah tidak akan membiarkan mereka terus-menerus melakukan kekejaman, kezaliman dan penindasan terhdap hamba-hambanya dan berkufur kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan ditimpakan oleh Allah kepada mereka bila tetap tidak mau sadar dan beriman kepada-Nya, bermacam azab dan siksa di dunia semasa hidup mereka sebagai pembalasan yang nyata!
Berdoalah Nabi Musa, memohon kepada Allah: "Ya Tuhan kami, engkau telah memberi kepada Fir'aun dan kaum kerabatnya kemewahan hidup, harta kekayaan yang meluap-luap dan kenikmatan duniawi, yang kesemua itu mengakibatkan mereka menyesatkan manusia, hamba-hamba-Mu, dari jalan yang Engkau ridhoi dan tuntunan yang Engkau berikan. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta-benda mereka dan kunci matilah hati mereka. mereka tidak akan beriman dan kembali kepada jalan yang benar sebelum melihat siksaan-Mu yang pedih."
Berkat doa Nabi Musa dan permohonannya yang diperkenankan oleh Allah, maka dilandalah kerajaan Fir'aun oleh krisis keuangan dan makanan, yang disebabkan mengeringnya sungai Nil sehingga tidak dapat mengairi sawah-sawah dan ladang-ladang disamping serangan hama yang ganas yang telah menghabiskan padi dan gandum yang sudah menguning dan siap untuk dipanen.
Belum lagi krisis keuangan dan makanan teratasi datang menyusul banjir yang besar disebabkan oleh hujan yang turun dengan deras, sehingga menghanyutkan rumah-rumah, gedung-gedung dan membinasakan binatang-binatang ternak. Dan sebagai akibat dari banjir itu bermacam-macam wabah penyakit menjangkiti masyarakat seperti hidung berdarah dan lain-lain. Kemudian datanglah barisan kutu-kutu busuk dan katak-katak yang menyerbu ke dalam rumah-rumah sehingga mengganggu ketenteraman hidup mereka, menghilangkan kenikmatan makan, minum dan tidur, disebabkan menyusupnya binatang-binatang itu ke dalam tempat-tempat tidur, hidangan makanan dan di antara sela-sela pakaian mereka.
Pada waktu azab menimpa dan bencana-bencana itu sedang melanda berdatanglah mereka kepada Nabi Musa minta pertolongannya demi kenabiannya, agar memohonkan kepada Allah mengangkat bencana itu dari atas mereka dengan perjanjian bahwa mereka akan beriman dan menyerahkan Bani Isra'il kepada Nabi Musa sekirannya mereka dapat ditolong dan terhindar dari azab itu.
Akan tetapi begitu azab itu tercabut dari atas mereka dan hilanglah gangguan yang diakibatkan olehnya, mereka mengingkari janji mereka dan kembali bersikap memusuhi dan menentang Nabi Musa, seolah-olah apa yang terjadi bukanlah karena doa dan permohonan Musa kepada Allah tetapi karena hasil usaha mereka sendiri.
Bacalah tentang isi cerita di atas ayat 26 dari surat "Al-Mukmin", ayat 51 hingga ayat 54 surat "Az-Zukhruf", ayat 88 dan 89 surat "Yunus", dan ayat 130 hingga ayat 135 surat "Al-A'raaf".
Bani Isra'il keluar dari Mesir
Bani Isra'il yang cukup menderita akibat tindasan Fir'aun dan kaumnya cukup merasakan penganiayaan dan hidup dalam ketakutan di bawah pemerintahan Fir'aun yang kejam itu, pada akhirnya sadar bahwa Musalah yang benar-benar dikirimkan oleh Allah untuk membebaskan mereka dari cengkraman Fir'aun dan kaumnya. Maka berdatangan mereka kepada Nabi Musa memohon pertolongannya agar mengeluarkan mereka dari Mesir.
Kemudian bertolaklah rombongan kaum Bani Isra'il di bawah pimpinan Nabi Musa meninggalkan Mesir menuju Baitul Maqdis. Dengan berjalan kaki dengan cepat karena takut tertangkap oleh Fir'aun dan bala tentaranya yang mengejar mereka dari belakang akhirnya tibalah mereka pada waktu fajar di tepi lautan merah setelah selama semalam suntuk dapat melewati padang pasir yang luas.
Rasa cemas dan takut makin mencekam hati para pengikut Nabi Musa dan Bani Isra'il ketika melihat laut terbentang di depan mereka sedang dari belakang mereka dikejar oleh Fir'aun dan bala tentaranya yang akan berusaha mengembalikan mereka ke Mesir. Mereka tidak meragukan lagi bahwa bila mereka tertangkap, maka hukuman matilah yang akan mereka terima dari Fir'aun yang zalim itu.
Berkatalah salah seorang dari sahabat Nabi Musa, bernama Yusha' bin Nun: "Wahai Musa, ke mana kita harus pergi?" Musuh berada di belakang sedang mengejar dan laut berada di depan kita yang tidak dapat dilintasi tanpa sampan. Apa yang harus kita perbuat untuk menyelamatkan diri dari kejaran Fir'aun dan kaumnya?"
Nabi Musa menjawab: "Janganlah kamu khawatir dan cemas, perjalanan kita telah diperintahkan oleh Allah kepadaku, dan Dialah yang akan memberi jalan keluar serta menyelamatkan kita dari cengkeraman musuh yang zalim itu."
Pada saat yang kritis itu, di mana para pengikut Nabi Musa berdebar-debar ketakutan, seraya menanti tindakan Nabi Musa yang kelihatan tenang saja, turunlah wahyu Allah kepada Nabi-Nya dengan perintah agar memukul air laut dengan tongkatnya. Maka dengan izin Allah terbelah laut itu, tiap-tiap belahan merupakan seperti gunung yang besar. Di antara kedua belahan air laut itu terbentang dasar laut yang sudah mengering yang segera di bawah pimpinan Nabi Musa dilewatilah oleh kaum Bani Isra'il menuju ke tepi timurnya.
Setelah mereka sudah berada di bagian tepi timur dalam keadaan selamat terlihatlah oleh mereka Fir'aun dan bala tentaranya menyusuri jalan yang sudah terbuka di antara dua belah gunung air itu. Kembali rasa cemas dan takut mengganggu hati mereka seraya memandang kepada Nabi Musa seolah-olah bertanya apa yang hendak dia lakukan selanjutnya. Saat itu Nabi Musa telah diilhami oleh Allah agar bertenang menanti Fir'aun dan bala tentaranya turun semua ke dasar laut. Karena takdir Allah telah mendahului bahwa mereka akan menjadi bala tentara yang tenggelam.
Berkatalah Fir'aun kepada kaumnya tatkala melihat jalan terbuka bagi mereka di antara dua belah gunung air itu: "Lihat bagaimana lautan terbelah menjadi dua, memberi jalan kepada kita untuk mengejar orang-orang yang melarikan diri itu. mereka mengira bahwa mereka akan dapat melepaskan diri dari kejaran dan hukumanku. mereka tidak mengetahui bahwa perintahku berlaku dan ditaati oleh laut, jangan lagi oleh manusia. Tidakkah ini semuanya membuktikan bahwa aku adalah yang berkuasa yang harus disembah olehmu?" Maka dengan rasa bangga dan sikap sombongnya turunlah Fir'aun dan bala tentaranya ke dasar laut yang sudah mengering itu melakukan gerak-cepatnya untuk menyusul Musa dan Bani Isra'il yang sudah berada di tepi bagian timur sambil menanti hukuman Allah yang telah ditakdirkan terhamba-hamba-Nya yang kafir itu.
Setelah Fir'aun dan bala tentaranya berada di tengah-tengah lautan yang membelah itu, jauh dari ke dua tepinya, tibalah perintah Allah dan kembalilah air yang menggunung itu menutupi jalur jalan yang terbuka di mana Fir'aun dengan sombongnya sedang memimpin barisan tentaranya mengejar Musa dan Bani Isra'il. Terpendamlah mereka hidup-hidup di dalam perut laut dan berakhirlah riwayat hidup Fir'aun dan kaumnya untuk menjadi kenangan sejarah dan pelajaran bagi generasi akan datang.
Pada detik-detik akhir hayatnya, seraya berjuang untuk menyelamatkan diri dari maut yang sudah berada di depan matanya, berkatalah Fir'aun: "Aku percaya bahwa tiada tuhan selain Tuhan Musa dan Tuhan Bani Isra'il. Aku beriman pada Tuhan mereka dan berserah diri kepada-Nya sebagai salah seorang muslim."
Berfirmanlah Allah kepada Fir'aun yang sedang menghadapi sakaratul-maut: "Baru sekarangkah engkau berkata beriman kepada Musa dan berserah diri kepada-Ku? Tidakkah kekuasaan ketuhananmu dapat menyelamatkan engkau dari maut? Baru sekarangkah engkau sadar dan percaya setelah sepanjang hidupmu bermaksiat, melakukan penindasan dan kezaliman terhadap hamba-hamba-Ku dan berbuat sewenang-wenang, merusak akhlak dan aqidah manusia-manusia yang berada di bawah kekuasaanmu. Terimalah sekarang pembalasan-Ku yang akan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang akan datang sesudahmu. Akan Aku apungkan tubuh kasarmu untuk menjadi peringatan bagi orang-orang yang meragukan akan kekuasaan-Ku."
Bani Isra'il pengikut-pengikut Nabi Musa masih meragukan kematian Fir'aun. mereka masih terpengaruh dengan kenyataan yang ditanamkan oleh Fir'aun semasa ia berkuasa sebagai raja bahwa dia adalah manusia luar biasa lain daripada yang lain dan bahwa dia akan hidup kekal sebagai tuhan dan tidak akan mati. Khayalan yang masih melekat pada fikiran mereka menjadikan mereka tidak mau percaya bahwa dengan tenggelamnya, Fir'aun sudah mati. mereka menyatakan kepada Musa bahwa Fir'aun mungkin masih hidup namun di alam lain.
Nabi Musa berusaha menyakinkan kaumnya bahwa apa yang terfikir oleh mereka tentang Fir'aun adalah suatu khayalan belaka dan bahwa Fir'aun sebagai orang biasa telah mati tenggelam akibat pembalasan Allah atas perbuatannya, menentang kekuasaan Allah mendustakan Nabi Musa dan menindas serta memperhambakan Bani Isra'il.
Setelah melihat dengan mata kepala sendiri, tubuh-tubuh Firaun dan orang-orangnya terapung-apung di permukaan air, hilanglah segala tahayul mereka tentang Fir'aun dan kesaktiannya.
Menurut catatan sejarah, bahwa mayat Fir'aun yang terdampar di pantai diketemukan oleh orang-orang Mesir, lalu diawetkan hingga utuh sampai sekarang, sebagai mana dapat dilihat di museum Mesir.
Tentang isi cerita yang terurai di atas dapat di baca dalam surat "Thaha" ayat 77 sehingga 79, surat "Asy-Syua'ra" ayat 60 sehingga 68, surat "Yunus" ayat 90 sehingga 92
Nabi Musa A.S. dan Bani Isra'il setelah keluar dari Mesir
Dalam perjalanan menuju Thur Sina setelah melintasi lautan di bagian utara dari Laut Merah dan setelah mereka merasa aman dari kejaran Fir'aun dan kaumnya. Bani Isra'il yang dipimpin oleh Nabi Musa itu melihat sekelompok orang-orang yang sedang menyembah berhala dengan tekunnya. Berkatalah mereka kepada Nabi Musa: "Wahai Musa, buatlah untuk kamu sebuah tuhan berhala sebagaimana mereka mempunyai berhala-berhala yang disembah sebagai tuhan." Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah orang-orang yang bodoh dan tidak berfikiran sehat. Persembahan mereka itu kepada berhala adalah perbuatan yang sesat dan batil serta pasti akan dihancurkan oleh Allah. Patutkah aku mencari tuhan untuk kamu selain Allah yang telah memberikan karunia kepada kamu, dengan menyelamatkan kamu dari Fir'aun, melepaskan kamu dari perhambaannya dan penindasannya serta memberikan kamu kelebihan di atas umat-umat yang lain.
Sesungguhnya suatu permintaan yang aneh daripada kamu, bahwa kamu akan mencari tuhan selain Allah yang demikian besar nikmatnya atas kamu, Allah pencipta langit dan bumi serta alam semesta. Allah yang baru saja kamu saksikan kekuasaan-Nya dengan ditenggelamkannya Fir'aun berserta bala tentaranya untuk keselamatan dan kelangsungan hidupmu."
Perjalanan Nabi Musa dan Bani Isra'il dilanjutkan ke Gurun Sinai di mana panas matahari sangat terik dan sunyi dari pohon-pohon atau bangunan di mana orang dapat berteduh di bawahnya.
Atas permohonan Nabi Musa yang didesak oleh kaumnya yang sedang kepanasan diturunkan oleh Allah di atas mereka awan yang tebal untuk mereka bernaung dan berteduh di bawahnya dari panas teriknya matahari. Di samping itu tatkala bekalan makanan dan minuman mereka sudah berkurang dan tidak mencukupi keperluan. Allah menurunkan hidangan makanan "manna" sejenis makanan yang manis sebagai madu dan "salwa" burung sebangsa puyuh dengan diiringi firman-Nya: "Makanlah Kamu dari makanan-makanan yang baik yang Kami telah turunkan bagimu."
Demikian pula tatkala pengikut-pengikut Nabi Musa mengeluh kehabisan air untuk minum dan mandi di tempat yang tandus dan kering itu, Allah mewahyukan kepada Musa agar memukul batu dengan tongkatnya. Lalu memancarlah dari batu yang dipukul itu dua belas mata air, untuk dua belas suku bangsa Isra'il yang mengikuti Nabi Musa, masing-masing suku mengetahui sendiri dari mata air mana mereka mengambil keperluan airnya.
Bani Isra'il pengikut Nabi Musa yang sangat manja itu, merasa masih belum cukup atas apa yang telah Allah berikan kepada mereka yang telah menyelamatkan mereka dari perhambaan dan penindasan Fir'aun, memberikan mereka hidangan makanan dan minuman yang lezat dan segar di tempat yang kering dan tandus, mereka menuntut lagi dari Nabi Musa agar memohon kepada Allah menurunkan bagi mereka apa yang ditumbuhkan oleh bumi dari rupa-rupa sayur-mayur, seperti ketimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah karena mereka tidak puas dengan satu macam makanan.
Terhadap tuntutan mereka yang aneh-aneh itu berkatalah Nabi Musa: "Maukah kamu memperoleh sesuatu yang rendah nilai dan harganya sebagai pengganti dari apa yang lebih baik yang telah Allah karuniakan kepada kamu? Pergilah kamu ke suatu kota di mana pasti kamu akan dapat apa yang kamu inginkan dan kamu minta."
Pokok cerita tersebut di atas dikisahkan oleh Al-Quran dalam surat "Al-A'raaf ayat 138 hingga 140 dan 160, serta surat "Al-Baqarah" ayat 61.
Musa bermunajat kepada Allah
Menurut para ahli tafsir, bahwasanya tatkala Nabi Musa berada di Mesir, ia telah berjanji kepada kaumnya akan memberi mereka sebuah kitab suci yang dapat digunakan sebagai pedoman hidup yang akan memberi bimbingan dan sebagai tuntunan bagaimana cara mereka bergaul dan bermuamalah dengan sesama manusia dan bagaimana mereka harus melakukan persembahan dan ibadah mereka kepada Allah. Di dalam kitab suci itu mereka akan dapat petunjuk akan hal-hal yang halal dan haram, perbuatan yang baik yang diridhoi oleh Allah di samping perbuatan-perbuatan yang mungkar yang dapat mengakibatkan dosa dan murkanya Tuhan.
Maka setelah perjuangan menghadapi Fir'aun dan kaumnya yang telah tenggelam binasa di laut selesai, Nabi Musa memohon kepada Allah agar diberinya sebuah kitab suci untuk menjadi pedoman dakwah dan risalahnya kepada kaumnya. Lalu Allah memerintahkan kepadanya agar untuk itu ia berpuasa selama tiga puluh hari penuh, yaitu semasa bulan Zulkaedah. Kemudian pergi ke Bukit Thur Sina di mana ia akan diberi kesempatan bermunajat dengan Tuhan serta menerima kitab penuntun yang diminta.
Setelah berpuasa selama tiga puluh hari penuh dan tiba saat ia harus menghadap kepada Allah di atas bukit Thur Sina Nabi Musa merasa segan akan bermunajat dengan Tuhannya dalam keadaan mulutnya berbau kurang sedap akibat puasanya. Maka ia menggosokkan giginya dan mengunyah daun-daunan dalam usahanya menghilangkan bau mulutnya. Ia ditegur oleh malaikat yang datang kepadanya atas perintah Allah. Berkatalah malaikat itu kepadanya: "Hai Musa, mengapakah engkau harus menggosokkan gigimu untuk menghilangkan bau mulutmu yang menurut anggapanmu kurang sedap, padahal bau mulutmu dan mulut orang-orang yang berpuasa bagi kami adalah lebih sedap dan lebih wangi dari baunya kasturi. Maka akibat tindakanmu itu, Allah memerintahkan kepadamu berpuasa lagi selama sepuluh hari sehingga menjadi lengkaplah waktu puasamu sepanjang empat puluh hari."
Nabi Musa mengajak tujuh puluh orang yang telah dipilih diantara pengikutnya untuk menyertainya ke bukit Thur Sina dan mengangkat Nabi Harun sebagai wakilnya mengurus serta memimpin kaum yang ditinggalkan selama kepergiannya ke tempat bermunajat itu.
Pada saat yang telah ditentukan tibalah Nabi Musa seorang diri di bukit Thur Sina mendahului tujuh puluh orang yang diajaknya turut serta. Dan ketika ia ditanya oleh Allah: "Mengapa engkau datang seorang diri mendahului kaummu, hai Musa?" Ia menjawab: "Mereka sedang menyusul di belakangku, wahai Tuhanku. Aku cepat-cepat datang lebih dahulu untuk mencapai ridha-Mu."
Berkatalah Musa dalam munajatnya dengan Allah: "Wahai Tuhanku, nampakkanlah zat-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu"
Allah berfirman: "Engkau tidak akan sanggup melihat-Ku, tetapi cobalah lihat bukit itu, jika ia tetap berdiri tegak di tempatnya sebagaimana sedia kala, maka niscaya engkau akan dapat melihat-Ku." Lalu menolehlah Nabi Musa mengarahkan pandangannya kearah bukit yang dimaksudkan itu yang seketika itu juga dilihatnya hancur luluh masuk ke dalam perut bumi tanpa menghilangkan bekas. Maka terperanjatlah Nabi Musa, gemetarlah seluruh tubuhnya dan jatuh pingsan.
Setelah ia sadar kembali dari pingsannya, bertasbih dan bertahmidlah ia seraya memohon ampun kepada Allah atas kelancangannya itu dan berkata: "Maha Besarlah Engkau wahai Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah taubatku dan aku akan menjadi orang yang pertama beriman kepada-Mu."
Dalam kesempatan bermunajat itu, Allah menerimakan kepada Nabi Musa kitab suci "Taurat" berupa kepingan-kepingan batu-batu atau kepingan kayu menurut ahli tafsir yang di dalamnya tertulis segala sesuatu secara terperinci dan jelas mengenai pedoman hidup dan penuntun kepada jalan yang diridhoi oleh Allah.
Allah mengiringi pemberian "Taurat" kepada Musa dengan firman-Nya: "Wahai Musa, sesungguhnya Aku telah memilih engkau lebih dari manusia-manusia yang lain di masamu, untuk membawa risalah-Ku dan menyampaikan kepada hamba-hamba-Ku. Aku telah memberikan kepadamu keistimewaan dengan dapat bercakap-cakap langsung dengan Aku, maka bersyukurlah atas segala karunia-Ku kepadamu dan berpegang teguhlah pada apa yang Aku tuturkan kepadamu. Dalam kitab yang Aku berikan kepadamu berisi tuntunan dan pengajaran yang akan membawa Bani Isra'il ke jalan yang benar, ke jalan yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat bagi mereka. Anjurkanlah kaummu Bani Isra'il agar mematuhi perintah-perintah-Ku jika mereka tidak ingin Aku tempatkan mereka di tempat-tempat orang-orang yang fasiq."
Bacalah tentang kisah munajat Nabi Musa ini, surat "Thaha" ayat 83 dan 84 dan surat "Al-a'raaf" ayat 142 hingga ayat 145.
Bani Isra'il kembali menyembah patung anak lembu
Nabi Musa berjanji kepada Bani Isra'il yang ditinggalkan di bawah pimpinan Nabi Harun bahwa ia tidak akan meninggalkan mereka lebih lama dari tiga puluh hari, dalam perjalananya ke Thur Sina untuk bermunajat dengan Tuhan. Akan tetapi berhubung dengan adanya perintah Allah kepada Musa untuk melengkapi jumlah hari puasanya menjadi empat puluh hari, maka janjinya itu tidak dapat ditepati dan kedatangannya kembali ke tengah-tengah mereka tertunda menjadi sepuluh hari lebih lama daripada yang telah dijanjikan.
Bani Isra'il merasa kecewa dan menyesalkan kelambatan kedatangan Nabi Musa kembali ke tengah-tengah mereka. mereka menggerutu dengan melontarkan kata-kata kepada Nabi Musa seolah-olah ia telah meninggalkan mereka dalam kegelapan dan dalam keadaan yang tidak menentu. mereka merasa seakan-akan telah kehilangan pimpinan yang biasanya memberi bimbingan dan petunjuk-petunjuk kepada mereka.
Keadaan yang tidak puas dan bingung yang sedang meliputi kelompok Bani Isra'il itu, digunakan oleh seorang munafiq, bernama Samiri yang telah berhasil menyusup ke tengah-tengah mereka, sebagai kesempatan yang baik untuk menyebarkan benih syiriknya dan merusak akidah para pengikut Nabi Musa yang baru saja menerima ajaran tauhid dan iman kepada Allah. Samiri yang munafiq itu menghasut mereka dengan kata-kata bahwa Musa telah tersesat dalam tugasnya mencari Tuhan untuk mereka dan bahwa dia tidak dapat diharapkan kembali dan karena itu dianjurkan oleh Samiri agar mereka mencari tuhan lain sebagai ganti dari Tuhan Musa.
Samiri melihat bahwa hasutan itu dapat menggoyahkan iman dan akidah pengikut-pengikut Musa yang memang belum meresapi benar ajaran tauhidnya segera membuat patung untuk mereka sembah sebagai tuhan pengganti Tuhannya Nabi Musa. Patung itu berbentuk anak lembu yang dibuatnya dari emas yang dikumpulkan dari perhiasan-perhiasan para wanita. Dengan kepandaian taktiknya patung itu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengeluarkan suara menguap seakan-akan anak lembu sejati yang hidup. Maka diterimalah anak patung lembu itu oleh Bani Isra'il pengikut Nabi Musa yang masih lemah iman dan akidahnya itu sebagai tuhan persembahan mereka.
Ditegurlah mereka oleh Nabi Harun yang berkata: "Alangkah bodohnya kamu ini! Tidakkah kamu melihat anak lembu yang kamu sembah ini tidak dapat bercakap-cakap dengan kamu dan tidak pula dapat menuntun kamu ke jalan yang benar. Kamu telah menganiaya diri kamu sendiri dengan menyembah pada sesuatu selain Allah."
Teguran Nabi Harun itu dijawab oleh mereka yang telah termakan hasutan Samiri itu dengan kata-kata: "Kami akan tetap berpegang pada anak lembu ini sebagai tuhan persembahan kami sampai Musa kembali ke tengah-tengah kami."
Nabi Harun tidak dapat berbuat banyak menghadapi kaumnya yang telah berbalik menjadi murtad itu, karena ia khawatir kalau mereka dihadapi dengan sikap yang keras, akan terjadi perpecahan di antara mereka dan akan menjadi keadaan yang lebih rumit dan gawat sehingga dapat menyulitkan baginya dan bagi Nabi Musa kelak bila ia datang untuk mencarikan jalan keluar dari krisis iman yang melanda kaumnya itu. Ia hanya memberi peringatan dan nasihat kepada mereka sambil menanti kedatangan Musa kembali dari Thur Sina.
Dalam pada itu, Nabi Musa setelah selesai bermunajat dengan Tuhan dan dalam perjalanannya kembali ke tempat di mana kaumnya sedang menunggu memperoleh isyarat tentang apa yang telah terjadi dan dialami oleh Nabi Harun selama ketiadaannya. Nabi Musa sangat marah dan sedih hati tatkala ia tiba di tempat dan melihat kaumnya sedang berpesta mengelilingi anak patung lembu emas, menyembahnya dan memuji-mujinya. Dan karena sangat marah dan sedihnya ia tidak dapat menguasai dirinya, kepingan-kepingan Taurat dilemparkan berantakan. Harun saudaranya dipegang rambut kepalanya ditarik kepadanya seraya berkata menegur: "Apa yang engkau buat tatkala engkau melihat mereka tersesat dan terkena oleh hasutan dan fitnahan Samiri? Tidakkah engkau mematuhi perintahku dan pesanku ketika aku menyerahkan mereka kepadamu untuk engkau pimpin? Tidakkah engkau berdaya melawan hasutan Samiri dengan memberi petunjuk dan penerangan kepada mereka dan mengapa engkau tidak cepat memadamkan api kemurtadan ini sebelum menjadi besar begini?"
Harun berkata menanggapi teguran Musa: "Hai anak ibuku, janganlah engkau memegang rambut kepalaku, menarik-narikku. Aku telah berusaha memberi nasihat dan teguran kepada mereka, namun mereka tidak mengindahkan kata-kataku. Mereka menganggapkan aku lemah dan mengancam akan membunuhku. Aku khawatir jika aku menggunakan sikap dan tindakan yang keras, akan terjadi perpecahan dan permusuhan di antara sesama kita, yang mana akan menjadikan engkau lebih marah dan sedih. Lepaskanlah aku dan janganlah membuat musuh-musuhku bergembira melihat perlakuanmu terhadap diriku. Janganlah disamakan aku dengan orang-orang yang zalim."
Setelah mereda rasa jengkel dan sedihnya dan memperoleh kembali ketenangannya, berkatalah Nabi Musa kepada Samiri, orang munafiq yang menjadi biang keladi dari kekacauan dan kesesatan itu: "Hai Samiri, apakah yang mendorongmu menghasut dan menyesatkan kaumku, sehingga mereka kembali menjadi murtad, menyembah patung yang engkau buatkan dari emas itu?"
Samiri menjawab: "Aku telah melihat sesuatu yang mereka tidak melihatnya. Aku telah melihat kuda malaikat Jibril. aku mengambil segenggam tanah bekas jejak telapak kakinya itu, lalu aku lemparkannya ke dalam emas yang mencair di atas api dan terjadilah patung anak lembu yang dapat menguak, mengeluarkan suara sebagaimana anak lembu biasa. Demikianlah hawa nafsuku membujukku untuk berbuat itu."
Berkata Nabi Musa kepada Samiri: "Pergilah engkau dan jauhilah pergaulan manusia sebab karena perbuatan kamu itu engkau harus dipencilkan dan menjadi tabu (sesuatu yang terlarang) jika disentuh atau menyentuh seseorang ia akan menderita sakit demam panas. Ini adalah ganjaranmu di dunia, sedang di akhirat nerakalah akan menjadi tempatmu. Dan tuhanmu yang engkau buat dan sembah ini kami akan bakar dan buang ke dalam laut."
Kemudian berpalinglah Nabi Musa kepada kaumnya berkata: "Hai kaumku, alangkah buruknya perbuatan yang kamu telah kerjakan setelah kepergianku! Apakah engkau hendak mendahului janji Tuhanmu? Bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu janji yang baik, berupa kitab suci? Ataukah engkau menghendaki kemurkaan Tuhan menimpa atas dirimu, karena perbuatanmu yang buruk itu dan perlanggaranmu terhadap perintah-perintah dan ajaran-ajaranku."
Kaum Musa menjawab: "Kami tidak pernah melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, akan tetapi kami disuruh membawa perhiasan yang berat kepunyaan orang Mesir yang atas anjuran Samiri kami lemparkan ke dalam api yang sedang menyala. Kemudian perhiasan-perhiasan yang kami lemparkan itu menjelma menjadi patung anak lembu yang bersuara, sehingga dapat menyilaukan mata kepala kami dan menggoyahkan iman yang sudah tertanam di dalam dada kami."
Berkata Musa kepada mereka: "Sesungguhnya kamu telah berbuat dosa besar dan menyia-nyiakan dirimu sendiri dengan menjadikan patung anak lembu itu sebagai persembahanmu, maka bertaubatlah kamu kepada Tuhan, Penciptamu dan Pencipta alam semesta dan mohonlah ampun daripadanya agar Dia menunjukkan kembali jalan yang benar."
Akhirnya kaum Musa itu sadar atas kesalahannya dan mengakui bahwa mereka telah disesatkan oleh syaitan dan memohon ampun dan rahmat Allah agar selanjutnya melindungi mereka dari godaan syaitan dan iblis yang akan merugikan mereka di dunia dan akhirat.
Demikian pula Nabi Musa beristighfar memohon ampun baginya dan bagi Harun saudaranya setalah ternyata bahwa ia tidak melalaikan tugasnya sebagai wakil Musa dalam menghadapi krisis iman yang dialami oleh kaumnya. Berdoa Musa kepada Tuhannya: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami berdua ke dalam lingkaran rahmat-Mu sesungguhnya Engkaulah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Setelah suasana yang meliputi hubungan Musa dengan Harun di satu pihak dan hubungan mereka berdua dengan kaumnya di lain pihak menjadi tenang kembali, kepingan-kepingan Taurat yang bertaburan sudah dikumpulkan dan disusun sebagaimana asalnya, maka Allah memerintahkan kepada Musa agar membawa sekelompok dari kaumnya menghadap untuk meminta ampun atas dosa mereka menyembah patung anak lembu.
Tujuh puluh orang dipilih oleh Nabi Musa di antara kaumnya untuk diajak pergi bersama ke Thur Sina memenuhi perintah Allah meminta ampun atas dosa kaumnya. Mereka diperintahkan untuk keperluan itu agar berpuasa, mensucikan diri, pakaian mereka dan pada waktu yang telah ditentukan berangkatlah Nabi Musa bersama tujuh puluh orang itu menuju ke bukit Thur Sina.
Setiba mereka di Thur Sina turunlah awan yang tebal meliputi seluruh bukit, kemudian masuklah Nabi Musa diikuti para pengikutnya ke dalam awan gelap itu dan segera mereka bersujud. Dan sementara bersujud terdengarlah oleh kelompok tujuh puluh itu percakapan Nabi Musa dengan Tuhannya. Pada saat itu timbullah dalam hati mereka keinginan untuk melihat Zat Allah dengan mata kepala mereka setelah mendengar percakapan-Nya dengan telinga. Maka setelah selesai Nabi Musa bercakap-cakap dengan Allah berkatalah mereka kepadanya: "Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang." Dan sebagai jawaban atas keinginan mereka yang menunjukkan keingkaran dan ketakaburan itu, Allah seketika itu juga mengirimkan halilintar yang menyambar dan merenggut nyawa mereka sekaligus.
Nabi Musa merasa sedih melihat nasib yang menimpa kelompok tujuh puluh orang yang merupakan orang-orang yang terbaik di antara kaumnya. Ia berseru memohon kepada Allah agar diampuni dosa mereka seraya berkata: "Wahai Tuhanku, aku telah pergi ke Thur Sina dengan tujuh puluh orang yang terbaik di antara kaumku kemudian aku akan kembali seorang diri, pasti kaumku tidak akan mempercayaiku. Ampunilah dosa mereka, wahai Tuhanku dan kembalikanlah kepada mereka nikmat hidup yang Engkau telah cabut sebagai pembalasan atas keinginan dan permintaan mereka yang durhaka itu."
Alah memperkenankan doa Musa dan permohonannya dengan dihidupkan kembali kelompok tujuh puluh orang itu, maka bangunlah mereka seakan-akan orang yang baru sadar dari pingsannya. Kemudian pada kesempatan itu Nabi Musa mengambil janji dari mereka bahwa mereka akan berpegang teguh kepada kitab Taurat sebagai pedoman hidup mereka melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.
Pokok cerita yang disampaikan di atas, dikisahkan oleh Al-Quran dalam banyak tempat, di antaranya surat "Thaha" ayat 85 hingga 98, surat "Al-A'raaf ayat 149, 151, 154, 155 dan surat "Al-Baqarah" ayat 55, 56, 63 dan 64.
Bani Isra'il mengembara tidak berketentuan tempat tinggalnya
Tidak kurang-kurang karunia Allah yang diberikan kepada kaum Bani Isra'il. Mereka telah dibebaskan dari kekuasaan Fir'aun yang kejam yang telah menindas dan memperhambakan mereka berabad-abad lamanya. Telah diperlihatkan kepada mereka bagaimana Allah telah membinasakan Fir'aun, musuh mereka tenggelam di laut. Kemudian tatkala mereka berada di tengah-tengah padang pasir yang kering dan tandus, Allah telah memancarkan air dari sebuah batu dan menurunkan hidangan makanan "Manna dan Salwa" bagi keperluan mereka.
Di samping itu Allah mengutus beberapa orang rasul dan nabi dari kalangan mererka sendiri untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada mereka. Akan tetapi karunia dan nikmat Allah yang susul-menyusul yang diberikan kepada mereka, tidaklah mengubah sifat-sifat mereka yang tidak mengenal syukur, berkeras kepala dan selalu membangkang terhadap perintah Allah yang diwahyukan kepada rasul-Nya.
Demikianlah tatkala Allah mewahyukan perintah-Nya kepada Nabi Musa untuk memimpin kaumnya pergi ke Palestin, tempat suci yang telah dijanjikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menjadi tempat tinggal anak cucunya, mereka membangkang dan enggan melaksanankan perintah itu. Alasan penolakan mereka ialah karena mereka harus menghadapi suku "Kana'aan" yang menurut anggapan mereka adalah orang-orang yang kuat dan perkasa yang tidak dapat dikalahkan dan diusir dengan kekuatan. Mereka tidak mempercayai janji Allah melalui Musa, bahwa dengan pertolongan-Nya mereka akan dapat mengusir suku Kan'aan dari kota Ariha untuk dijadikan tempat pemukiman mereka selama-lamanya.
Berkata mereka tanpa malu, menunjuk sifat pengejutnya kepada Musa: "Hai Musa, kami tidak akan memasuki Ariha sebelum orang-orang suku Kan'aan itu keluar. Kami tidak berdaya menghadapi mereka dengan kekuatan fisik karena mereka telah terkenal sebagai orang-orang yang kuat dan perkasa. Pergilah engkau berserta Tuhanmu memerangi dan mengusir orang-orang suku Kan'aan itu dan tinggalkanlah kami di sini sambil menanti hasil perjuanganmu."
Naik pitamlah Nabi Musa melihat sikap kaumnya yang pengecut itu yang tidak mau berjuang dan memeras keringat untuk mendapat tempat pemukiman tetapi ingin memperolehnya secara hadiah atau melalui mukjizat sebagaimana mereka telah mengalaminya dan banyak peristiwa. Dan yang menyedihkan hati Musa ialah kata-kata mengejek mereka yang menandakan bahwa dada mereka masih belum bersih dari benih kufur dan syirik kepada Allah.
Dalam keadaan marah setelah mengetahui bahwa tiada seorang daripada kaumnya yang akan mendampinginya melaksanakan perintah Allah itu, berdoalah Nabi Musa kepada Allah: "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai selain diriku dan diri saudaraku Harun, maka pisahkanlah kami dari orang-orang yang fasiq yang mengingkari nikmat dan karunia-Mu."
Sebagaimana hukuman bagi Bani Isra'il yang telah menolak perintah Allah memasuki Palestin, Allah mengharamkan negeri itu atas mereka selama empat puluh tahun dan selama itu mereka akan mengembara berkeliaran di atas bumi Allah tanpa mempunyai tempat mukim yang tetap. Mereka hidup dalam kebingungan sampai musnahlah mereka semuanya dan datang menyusul generasi baru yang akan mewarisi negeri yang suci itu sebagaimana yang telah disanggupkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim a.s.
Pokok cerita tersebut di atas dikisahkan oleh Al-Quran dalam surat "Al-Maidah ayat 20 hingga ayat 26.
Kisah sapi Bani Isra'il
Salah satu dari beberapa mukjizat yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa ialah penyembelihan sapi yang terkenal dengan sebutan sapi Bani Isra'il.
Dikisahkan bahwa ada seorang anak laki-laki putra tunggal dari seorang kaya-raya memperoleh warisan harta peninggalan yang besar dari ayahnya yang telah wafat tanpa meninggalkan seorang pewaris selain putra tunggalnya itu.
Saudara-saudara sepupu dari putra tunggal itu iri hati dan ingin menguasai harta peninggalan yang besar itu atau setidak-tidaknya sebagian daripadanya. Dan karena menurut hukum yang berlaku pada waktu itu yang tidak memberikan hak kepada mereka untuk memperoleh walau sebagian dari peninggalan bapak saudara mereka, mereka bersekongkol untuk membunuh saudara sepupu pewaris itu, sehingga bila ia sudah mati hak atau warisan yang besar itu akan jatuh kepada mereka.
Pembunuhan atas pewaris sah itu dilaksanakan sesuai rencana yang tersusun rapi kemudian datanglah mereka kepada Nabi Musa melaporkan, bahwa mereka telah menemukan saudara sepupunya mati terbunuh oleh seorang yang tidak dikenal identitasnya maupun tempat di mana ia menyembunyikan diri. Mereka mengharapkan Nabi Musa dapat menyingkap tabir yang menutupi peristiwa pembunuhan itu serta siapakah gerangan pembunuhnya.
Untuk keperluan itu, Nabi Musa memohon pertolongan Allah yang segera mewahyukan perintah kepadanya agar ia menyembelih seekor sapi dan dengan lidah sapi yang disembelih itu dipukullah mayat sang korban yang dengan izin Allah akan bangun kembali memberitahukan siapakah sebenarnya yang telah melakukan pembunuhan atas dirinya.
Tatkala Nabi Musa menyampaikan cara yang diwahyukan oleh Allah itu kepada kaumnya ia ditertawakan dan diejek karena akal mereka tidak dapat menerima bahwa hal yang sedemikian itu bisa terjadi. Mereka lupa bahwa Allah telah berkali-kali menunjukkan kekuasaan-Nya melalui mukjizat yang diberikan kepada Musa yang kadang kala bahkan lebih hebat dan lebih sukar untuk diterima oleh akal manusia berbanding mukjizat yang mereka hadapi dalam peristiwa pembunuhan pewaris itu.
Berkata mereka kepada Musa secara mengejek: "Apakah dengan cara yang engkau usulkan itu, engkau bermaksud hendak menjadikan kami bahan ejekan dan tertawaan orang? Akan tetapi kalau memang cara yang engkau usulkan itu adalah wahyu, maka cobalah tanya kepada Tuhanmu, sapi betina atau jantankah yang harus kami sembelih? Dan apakah sifat-sifatnya serta warna kulitnya agar kami tidak salah memilih sapi yang harus kami sembelih?"
Musa menjawab: "Menurut petunjuk Allah, yang harus disembelih itu ialah sapi betina berwarna kuning tua, belum pernah dipakai untuk membajak tanah atau mengairi tanaman, tidak cacat dan tidak pula ada belangnya."
Kemudian dikirimkanlah orang ke pelosok desa dan kampung-kampung mencari sapi yang dimaksudkan itu yang akhirnya ditemukannya pada seorang anak yatim piatu yang memiliki sapi itu sebagai satu-satunya harta peninggalan ayahnya serta menjadi satu-satunya sumber nafkah hidupnya. Ayah anak yatim itu adalah seorang fakir miskin yang soleh, ahli ibadah yang tekun yang pada saat mendekati waktu wafatnya, berdoalah kepada Allah memohon perlindungan bagi putra tunggalnya yang tidak dapat meninggalkan warisan apa-apa baginya selain seekor sapi itu. Maka berkat doa ayah yang soleh itu terjuallah sapi si anak yatim itu dengan harga yang berlipat ganda karena memenuhi syarat dan sifat-sifat yang diisyaratkan oleh Musa untuk disembelih.
Setelah disembelih sapi yang dibeli dari anak yatim itu, diambillah lidahnya oleh Nabi Musa, lalu dipukulkannya pada tubuh mayat, yang seketika bangunlah ia hidup kembali dengan izin Allah, menceritakan kepada Nabi Musa dan para pengikutnya bagaimana ia telah dibunuh oleh saudara-saudara sepupunya sendiri.
Demikianlah mukjizat Allah yang kesekian kalinya diperlihatkan kepada Bani Isra'il yang keras kepala dan keras hati itu namun belum juga dapat menghilangkan sifat-sifat membangkang mereka atau mengikis-habis bibit-bibit syirik dan kufur yang masih melekat pada dada dan hati mereka.
Ayat-ayat Al-Quran yang mengisahkan pokok cerita di atas, terdapat dalam surat "Al-Baqarah ayat 67 hingga 73.
Nabi Musa A.S. dan Al-Khidir
Pada suatu ketika berpidatolah Nabi Musa di depan kaumnya Bani Isra'il. Ia berdakwah kepada mereka, memberi nasihat dengan mengingatkan kepada mereka akan karunia dan nikmat Allah yang telah dicurahkan kepada mereka yang sepatutnya diimbangi dengan syukur dan pelaksanaan ibadah yang tulus, melakukan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Kepada mereka yang beriman, bertaat dan bertakwa, Nabi Musa menjanjikan pahala surga dan bagi mereka yang mengingkari nikmat Allah diancam dengan siksa api neraka.
Begitu Nabi Musa mengakhiri pidatonya bangunlah di antara para hadirin bertanya kepadanya: "Wahai Musa, siapakah di atas bumi Allah ini paling pandai dan paling berpengetahuan?"
"Aku", jawab Musa.
Apakah tidak ada kiranya orang yang lebih pandai dan lebih berpengetahuan daripadamu?" Tanya lagi si penanya itu.
"Tidak ada", ujar Musa seraya berkata dalam hati kecilnya: "Bukankah aku Nabi terbesar di antara Bani Isra'il? Aku adalah penakluk Fir'aun, pemegang berbagai mukjizat, yang telah dapat membelah laut dengan tongkatku dan akulah yang memperoleh kesempatan bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Maka kemuliaan apa lagi yang dapat melebihi kemuliaan serta kebesaran yang aku capai itu, yang belum pernah dialami dan dicapai oleh siapa pun sebelum aku."
Rasa sombong dan keunggulan diri yang tercermin dalam kata-kata Nabi Musa, dicela oleh Allah yang memperingatkan kepadanya bahwa ilmu itu adalah lebih luas untuk dimiliki oleh seseorang walaupun ia adalah seorang rasul dan bahwa bagaimana luasnya ilmu dan pengetahuan seseorang, niscaya akan terdapat orang lain yang lebih pandai dan lebih alim daripadanya. Selanjutnya untuk melanjutkan kekurangan yang ada pada diri Nabi Musa Allah memerintahkan kepadanya agar menemui seorang hamba-Nya di suatu tempat di mana dua lautan bertemu. Hamba yang soleh yang telah diberinya rahmat dan ilmu oleh Allah itu akan memberi tambahan pengetahuan dan ilmu kepada Nabi Musa sehingga dapat menjadikan sadar bahwa tiada manusia yang dapat membanggakan diri dengan mengatakan bahwa akulah orang yang terpandai dan berpengetahuan luas di atas bumi ini.
Berkata Musa kepada Tuhan: "Wahai Tuhanku, aku akan pergi mencari hamba-Mu yang soleh itu, untuk memperoleh bunga api ilmunya dan mendapat titisan air pengetahuan dan ilham yang Engkau telah berikan kepadanya."
Allah berfirman kepada Musa: "Bawalah seekor ikan didalam sebuah keranjang dalam perjalananmu mencari dia dan ketahuilah bahwa di tempat di mana engkau akan kehilangan ikan di dalam keranjang itu, di situ engkau akan menemui hamba-Ku yang soleh itu."
Nabi Musa menyiapkan diri untuk perjalanan yang jauh, didampingi oleh "Yusya' bin Nun" seorang daripada para pengikutnya yang setia. Ia membawa bekal makanan dan minuman di antaranya sebuah keranjang yang terisi seekor ikan sesuai dengan petunjuk Allah. Ia berkeras hati tidak akan kembali sebelum ia dapat menemui hamba yang soleh itu walaupun ia harus melakukan perjalanan yang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun bila perlu. Ia berpesan kepada teman seperjalanannya Yusya' bin Nun agar segera memberitahu kepadanya bilamana ikan yang di dalam keranjang yang dibawanya itu hilang.
Tatkala Nabi Musa beserta Yusya' bin Nun sampai di mana dua lautan bertemu yang telah diisyaratkan dalam firman Allah kepadanya, tertidurlah ia di atas sebuah batu yang besar yang berada di tepi lautan. Pada saat ia tidur nyenyak, turunlah hujan rintik-rintik, membasahi seekor ikan di dalam keranjang itu dan tanpa mereka ketahui melompatlah ikan tersebut itu masuk ke dalam laut.
Setelah Musa terjaga dari tidurnya, bangunlah mereka meneruskan perjalanan yang tidak menentu arah maupun tujuan. Dan dalam perjalanan yang sudah agak jauh, berhentilah Musa beristirahat sekadar untuk menghilangkan rasa lelahnya seraya meminta dari Yusya bin Nun agar menyiapkan santapannya karena ia sudah sangat lapar. Ketika Yusya bin Nun membuka keranjang untuk mengambil makanan teringatlah olehnya akan ikan yang hilang dan melompat ke dalam laut. Maka berkatalah Yusya' kepada Nabi Musa: "Aku telah dilupakan oleh syetan untuk memberitahu kepadamu segera, bahwa tatkala engkau berada di atas batu karang sedang tidur nyenyak, ikan yang berada di dalam keranjang tiba-tiba hidup kembali setelah kejatuhan air hujan dan melompat masuk ke dalam laut. Sepatutnya aku melaporkan kepadamu segera, sesuai dengan pesanmu, namun aku dilupakan oleh syetan."
Wajah Nabi Musa berseri-seri menjadi kegirangan mendengar berita itu dari Yusya' karena telah dapat mengetahui di mana ia akan dapat bertemu dengan hamba Allah yang dicari itu. Berkata Musa kepada Yusya': "Inilah tempat yang kita tuju dan disini kita akan menemui orang yang kita cari. Marilah kita kembali ke tempat batu karang itu yang menjadi tempat tujuan terakhir dari perjalanan kita yang jauh ini."
Setiba mereka kembali di tempat di mana mereka kehilangan ikan, mereka melihat seorang bertubuh kurus langsing yang pada wajahnya tampak cahaya dan iman serta tanda-tanda orang soleh. Ia sedang menutupi tubuhnya dan pakaiannya sendiri, yang segera disingkapnya ketika mendengar kata-kata salam Nabi Musa kepadanya.
"Siapakah engkau?" bertanya orang soleh itu.
Musa menjawab: "Aku adalah Musa."
Bertanya kembali orang soleh itu: "Musa, nabi Bani Isra'ilkah?"
"Betul", jawab Musa, seraya bertanya: "Dari manakah engkau mengetahui bahwa aku adalah Nabi Bani Isra'il?"
"Dari yang mengutusmu kepadaku", jawab orang soleh itu.
"Inilah hamba Allah yang aku cari", berkata Musa dalam hatinya, seraya mendekatinya dan berkata kepadanya: "Dapatkah engkau memperkenankan aku mengikutimu dan berjalan bersamamu ke mana saja engkau pergi sebagai bayanganmu dan sebagai muridmu? Aku akan mematuhi segala petunjuk dan perintahmu."
Hamba soleh atau menurut banyak pendapat ahli-ahli tafsir Nabi Al-Khidhir itu menjawab: "Engkau tidak akan sabar dan tidak dapat menahan diri bila engkau mengikutiku dan berjalan bersamaku. Engkau akan mengalami dan melihat hal-hal yang ajaib yang sepintas lalu nampak seakan-akan perbuatan yang salah dan mungkar namun pada hakikatnya adalah perbuatan benar dan wajar dan engkau sebagai manusia tidak akan berdiam diri melihatku melakukan perbuatan dan tingkah laku yang ganjil menurut pandanganmu."
Musa menjawab dengan sikap seorang murid yang ingin belajar dan menambah pengetahuan : "Insya-Allah engkau akan mendapati aku seorang yang sabar yang tidak akan melanggar perintah atau petunjuk daripadamu."
Berkata Al-Khidhir kepada Musa: "Jika engkau benar-benar ingin mengikutiku dan berjalan bersamaku maka engkau harus berjanji tidak akan mendahului bertanya tentang sesuatu sebelum aku memberitahukan kepadamu. Engkau harus berjanji bahwa engkau tidak akan menentang segala perbuatan dan tindakan yang aku lakukan dihadapanmu walaupun menurut pandanganmu itu salah dan mungkar. Aku dengan sendirinya memberi alasan dan tafsiran untuk segala tindakan dan perbuatanku kepadamu kelak pada akhir perjalanan kami berdua."
Dengan diterimanya pesyaratan Nabi Al-Khidhir oleh Musa yang berjanji akan mematuhinya bulat-bulat, maka diajaklah Nabi Musa mengikutinya dalam perjalanan.
Pelanggaran pertama terhadap persyaratan Al-Khidhir terjadi tatkala mereka sampai di tepi pantai, di mana terdapat sebuah perahu sedang berlabuh. Nabi Al-Khidhir meminta pertolongan pemilik perahu itu, agar menghantar mereka di suatu tempat yang di tuju. Dengan senang hati diangkutlah mereka berdua tanpa dipungut bayaran bahkan dihormati dan diberi layanan yang baik karena dilihatnya oleh pemilik perahu bahwa kedua orang itu memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri yang tidak terdapat pada orang biasa.
Tatkala mereka berada dalam perahu tiba-tiba Musa melihat Al-Khidhir melubangi perahu itu dengan mengambil dua keping kayunya. Perbuatan yang dianggap oleh Musa suatu gangguan dan pengrusakan untuk seseorang yang telah berbuat baik terhadap mereka.
Musa lupa akan janjinya sendiri dan ditegurlah Al-Khidhir dengan berkata: "Engkau telah melakukan perbuatan mungkar dengan merusak dan melubangi perahu ini. Apakah dengan perbuatan kamu ini engkau hendak menenggelamkan perahu ini dengan semua penumpangnya? Tidakkah engkau merasa kasihan kepada pemilik perahu ini yang telah berjasa kepada kita dan menghantarkan kita ke tempat yang kita tuju tanpa membayar sesen pun?"
Berkata Al-Khidhir menjawab teguran Musa: "Bukankah aku telah katakan kepadamu bahwa engkau tidak akan sabar menahan diri melihat tindakan-tandakanku di dalam perjalanan menyertaiku."
Musa berkata: "Maafkanlah aku. Aku telah lupa akan janjiku sendiri. Janganlah aku dipersalahkan dan dimarahi akan kelupaanku."
Permintaan maaf Musa diterima oleh Al-Khidhir dan tibalah mereka berdua di tempat yang dituju di sebuah pantai.
Kemudian perjalanan dilanjutkan di darat dan bertemulah mereka dengan seorang anak laki-laki yang sedang bermain-main dengan kawan-kawannya. Tiba-tiba dipanggillah anak itu oleh Al-Khidhir, dibawanya ke tempat yang agak jauh, dibaringkannya dan dibunuhnya seketika itu. Alangkah terperanjatnya Musa melihat tindakan Al-Khidhir yang dengan sewenang-wenangnya telah membunuh seorang anak yang tidak berdosa, seorang yang mungkin sekali dalam fikiran Musa adalah harapan satu-satunya bagi kedua orang tuanya.
Musa sebagai Nabi yang diutus oleh Allah untuk memerangi kemungkaran dan kejahatan tidak dapat berdiam diri melihat Al-Khidhir melakukan pembunuhan yang tiada beralasan itu, maka ditegurlah ia seraya berkata: "Mengapa engkau membunuh seorang anak yang tidak berdosa? Sesungguhnya engkau telah melakukan perbuatan yang mungkar dan keji."
Al-Khidhir menjawab dengan sikap dinginnya: "Bukankah aku telah berkata kepadamu, bahwa engkau tidak akan sabar menahan diri berjalan dengan aku?"
Dengan rasa malu mendengar teguran Al-Khidhir itu, berucaplah Musa: "Maafkanlah aku untuk kedua kalinya dan perkenankanlah aku untuk meneruskan perjalanan bersamamu dan jika terjadi lagi perlanggaran dariku untuk yang ketiga kalinya, maka janganlah aku diperbolehkan menyertaimu seterusnya. Sesungguhnya telah cukup engkau memberi uzur dan memberi maaf kepadaku."
Dengan janji terakhir yang diterima oleh Al-Khidhir dari Musa diteruskanlah perjalanan mereka berdua tiba di suatu desa di mana mereka ingin beristirahat untuk menghilangkan lelah mereka akibat perjalanan jauh yang telah ditempuh. Mereka berusaha untuk mendapat tempat penginapan sementara dan sedikit bahan makanan untuk sekadar mengisi perut kosong mereka, namun tidak seorang pun dari penduduk desa yang membantu sehingga dengan rasa kecewa mereka segera meninggalkan desa itu.
Dalam perjalanan Musa dan Al-Khidhir hendak keluar dari desa itu mereka melihat dinding salah satu rumah desa itu nyaris roboh. Segera AL-Khidhir menghampiri dinding itu dan ditegakkannya kembali. Dan secara spontan, tanpa disadari, berkata Musa kepada Al-Khidhir: "heran, mengapa engkau berbuat kebaikan bagi orang-orang yang jahat dan pelit ini. Mereka telah menolak untuk memberi tempat istirahat dan sesuap makanan untuk perut kita yang lapar. Sepatutnya engkau menuntut upah bagi usahamu menegakkan dinding itu, agar dengan upah yang engkau dapat menutup keperluan makan minum kita."
Al-Khidhir menjawab: "Wahai Musa, inilah saat untuk kita berpisah sesuai dengan janjimu yang terakhir. Cukup sudah aku memberimu kesempatan dan uzur. Akan tetapi sebelum kita berpisah, akan aku berikan kepadamu tujuan serta alasan-alasan perbuatan-perbuatanku yang engkau rasa tidak wajar dan kurang patut."
"Ketahuilah hai Musa", Al-Khidhir melanjutkan percakapannya, "bahwa pengrusakan kapal yang kita tumpangi itu adalah untuk menyelamatkannya dari pengambil-alihan oleh seorang raja yang zalim yang sedang mengejar di belakang kapal itu. Sedang kapal itu adalah milik orang-orang fakir-miskin yang digunakan sebagai sarana mencari nafkah untuk hidup mereka sehari-hari. Dengan melubangi kapal itu, si raja yang zalim itu akan berfikir dua kali untuk merampas kapal itu yang dianggapnya rusak dan berlubang itu. Maka perbuatanku yang pada lahirnya adalah pengrusakan milik orang, namun tujuannya ialah menyelamatkannya dari tindakan perampasan sewenang-wenangnya."
"Adapun tentang anak yang aku bunuh itu ialah bertujuan menyelamatkan kedua orang tuanya dari gangguan anak yang durhaka itu. Kedua orang tua anak itu adalah orang-orang yang mukmin, soleh dan bertakwa yang aku khawatirkan akan menjadi tersesat dan melakukan hal-hal yang buruk karena dorongan anaknya yang durhaka itu. Aku harapkan dengan matinya anak itu Allah akan mengaruniai anak pengganti yang soleh dan berbakti kepada mereka berdua."
Sedang mengenai dinding rumah yang ku perbaiki dan ku tegakkan kembali itu adalah karena dibawahnya terpendam harta peninggalan milik dua orang anak yatim piatu. Ayah mereka adalah orang yang soleh ahli ibadah dan Allah menghendaki bahwa warisan yang ditinggalkan untuk kedua anaknya itu sampai ketangan mereka dengan utuh bila mereka sudah mencapai dewasa, sebagai rahmat dari Tuhan serta ganjaran bagi ayah mereka yang soleh dan bertakwa itu."
"Demikianlah wahai Musa, apa yang ingin engkau ketahui tentang tujuan tindakan-tindakanku yang sepintas lalu engkau anggap buruk dan melanggar hukum. Semuanya itu telah kulakukan bukan atas kehendakku sendiri tetapi atas tuntunan wahyu Allah kepadaku."
Kisah Musa dan Al-Khidir ini dapat dibaca dalam surat "Al-Kahfi" ayat 60 hingga ayat 82.
Nabi Musa A.S. dan Qarun si kaya raya
Qarun adalah nama seorang daripada kaum Nabi Musa dan keluarganya yang dekat. Ia dikaruniai Allah kelapangan rizki dan kekayaan harta benda yang besar yang tidak ternilai jumlahnya. Ia hidup mewah, selalu mujur dalam usahanya mengumpulkan kekayaan, sehingga menjadi padatlah khazanahnya dengan harta benda dan benda-benda yang sangat berharga. Sampai-Sampai para juru kuncinya tidak berdaya membawa atau memikul kunci-kunci peti khazanahnya karena sangat banyak dan berat.
Ia hidup secara mewah dan menonjol di antara kaum dan penduduk kotanya. Segala-galanya adalah luar biasa dan lain daripada yang lain. Gedung-gedung tempat tinggalnya, pakaiannya sehari-hari, pelayan-pelayannya dan hamba-hamba sahayanya yang jumlahnya melebihi keperluan.
Dan walaupun ia tenggelam dalam lautan kenikmatan duniawi yang tiada taranya pada waktu itu, ia merasa masih belum puas dengan tingkat kekayaan yang ia miliki dan terus berusaha mengisi khazanahnya yang sudah padat itu, sifat mausia yang serakah yang tidak akan pernah puas dengan apa yang sudah dicapai.
Jika ia sudah memiliki sekarung emas ia ingin memperoleh sekarung yang kedua dan demikian seterusnya.
Sebagaimana halnya dengan kebanyakan orang-orang kaya yang telah dimabukkan oleh harta bendanya maka Qarun tidak merasa sedikit pun bahwa dia mempunyai kewajiban sosial dengan harta kekayaannya itu. Ia dalam hidupnya hanya memikirkan kesenangan dan kesejahteraan peribadinya, memikirkan bagaimana ia dapat menambah kekayaannya yang sudah melimpah-limpah itu. Ia telah dinasehati oleh pemuka-pemuka kaumnya agar ia menyediakan sebagian daripada kekayaannya untuk menolong para fakir miskin, menolong orang-orang yang telanjang yang tidak berpakaian dan lapar tidak dapat makanan. Ia diperingatkan bahwa kekayaan yang ia peroleh itu adalah karunia dari Tuhan yang harus disyukuri dengan beramal kebajikan terhadap sesama manusia dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat meringankan penderitaan orang-orang yang ditimpa musibah atau menderita cacat. Diperingatkan bahwa Allah yang telah memberinya rizki yang luas itu dapat sewaktu-waktu mencabutnya bila ia melalaikan kewajiban sosialnya.
Nasihat yang baik dan peringatan yang jujur yang dikemukakan oleh pemuka-pemuka kaumnya itu tidak diindahkan oleh Qarun dan tidak mendapat tempat didalam hatinya. Ia bahkan merasa bahwa karena kekayaannya ialah yang harus memberi nasehat dan bukan menerima nasihat. Orang harus tunduk kepadanya, mematuhi perintahnya, mengiakan kata-katanya dan membenarkan segala tindakannya. Ia menyombongkan diri dengan mengatakan kepada orang-orang yang memberikan nasihat itu bahwa kekayaan yang ia miliki adalah semata-mata hasil jerih payahnya dan hasil dari kepandaiannya berusaha dan bukan merupakan karunia atau pemberian dari siapa pun. Karenanya ia bebas menggunakan harta kekayaannya menurut kehendak hatinya sendiri dan tidak merasa terikat oleh kewajiban sosial berupa pertolongan dan bantuan kepada para fakir miskin dan para penderita yang memerlukan bantuan dan pertolongan.
Sebagai tantangan bagi para orang yang menasehatinya, Qarun makin meningkatkan cara hidup mewahnya dan memamerkan kekayaannya dengan berlebih-lebihan. Bila ia keluar, Ia mengenakan pakaian dan perhiasan yang bergemerlapan, membawa pengantar dan pembantu lebih banyak daripada biasanya dan mengenderai kuda-kuda yang dihiasi dengan indah dan cantik. Kemewahan yang ditonjolkan itu, menimbulkan iri-hati dikalangan penduduk terutama mereka yang masih lemah imannya. Mereka berbisik-bisik diantara sesama mereka mengeluh dengan berkata: "Mengapa kami tidak diberi rizki dan kenikmatan seperti yang telah diberikan kepada Qarun? Alangkah mujurnya nasib Qarun dan alangkah bahagianya dia dalam hidupnya di dunia ini! Dan mengapa Tuhan melimpahkan kekayaan yang besar itu kepada Qarun yang tidak mempunyai rasa belas kasihan terhadap orang-orang yang melarat dan sengsara, orang-orang yang fakir dan miskin yang memerlukan pertolongan berupa pakaian maupun makanan. Dimanakah letak keadilan Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih itu?"
Qarun yang tidak mengindahkan anjuran orang, agar ia secara sukarela menyediakan sebagiaan harta kekayaannya untuk disedekahkan kepada orang-orang yang memerlukannya, melarat dan miskin akhirinya didatangi oleh Nabi Musa menyampaikan kepadanya bahwa Allah telah mewahyukan perintah berzakat untuk tiap-tiap orang yang kaya dan mampu.
Diterangkan oleh Musa kepadanya bahwa dalam harta kekayaan ada bagian yang telah ditentukan oleh Tuhan sebagai hak orang-orang yang melarat dan fakir miskin yang wajib diserahkan kepada mereka.
Qarun merasa jengkel memerima perintah wajib berzakat itu dan menyatakan keraguan dan kesangsian kepada Musa. Ia berkata: "Hai Musa kami telah membantumu dan mendukungmu dalam dakwahmu tentang agama barumu. Kami telah menuruti segala perintahmu dan mendengarkan segala kata-katamu. Sikap kami yang lunak itu terhadap dirimu telah memberanikan engkau bertindak lebih jauh dari apa yang sepatutnya dan mulailah engkau ingin meraih harta benda kami. Engkau rupanya ingin juga menguasai harta kekayaan kami setelah kami serahkan kepadamu. Dengan perintah wajib zakatmu ini engkau telah membuka topengmu dan menunjukkan dustamu dan bahwa engkau hanya seorang pendusta dan ahli sihir belaka."
Tuduhan Qarun yang ingin melepaskan dirinya dari wajib berzakat itu ditolak oleh Nabi Musa yang menegaskan kembali bahwa kewajiban berzakat itu tidak dapat ditawar-tawar dan harus dilaksanakan karena ia adalah perintah Allah yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan semestinya.
Qorun tidak bisa mengelakkan diri dan kewajiban zakat itu setelah berdebat dengan Musa maka ia menyerah dan ditentukan berapa besar yang harus ia keluarkan zakat harta kekayaannya.
Setelah tiba di rumah dan menghitung-hitung bagian yang harus dizakatkan dari harta miliknya Qarun merasa terlalu besar yang harus dizakatkan dan merasa sayang bahwa ia harus mengeluarkan dari khazanahnya sejumlah uang tanpa meperoleh imbalan suatu keuntungan apapun.
Akhirnya Qarun mengambil keputusan untuk tidak akan mengeluarkan zakat walau apapun yang akan terjadi akibat tindakannya itu.
Untuk menguatkan aksi penolakannya terhadap kewajiban mengeluarkan zakat, Qarun menyebarkan fitnah kepada Nabi Musa dengan maksud menarik orang agar menjadikan pembantu aksinya dan mengikutinya menolak kewajiban mengeluarkan zakat sebagaimana diperintahkan oleh Nabi Musa.
Ia menyebarkan fitnah seolah-olah Nabi Musa dengan dakwahnya dan penyiaran agama barunya bertujuan ingin memperkaya diri dan bahwa perintah zakatnya itu adalah cara perampasan yang halus terhadap milik-milik para pengikutnya.
Lebih jahat lagi untuk menjatuhkan Nabi Musa dan kewibawaannya, Qarun bersekongkol dengan seorang wanita yang diajarinya agar mengaku didepan umum bahwa ia telah melakukan perbuatan zina dengan Musa. Akan tetapi Allah tidak rela nama Rasul-Nya tercemar oleh tuduhan palsu yang diaturkan oleh Qarun itu. Maka digerakkanlah hati wanita sewaannya itu untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya dan bahwa apa yang ia tuduhkan kepada Nabi Musa adalah fitnahan dan ajaran Qarun semata dan bahwasannya Musa adalah bersih dari perbuatan yang dituduh itu.
Setelah Nabi Musa menyadari bahwa Qarun tidak beritikad baik dan ia tidak dapat diharap menjadi pengikut yang soleh yang mematuhi perintah-perintah Allah terutama perintah wajib zakat bahkan ia bisa merusak akhlak dan iman para pengikut Musa dengan sikap dan cara hidupnya yang berlebih-lebihan mewahnya, ditambahkan pula usahanya yang tidak henti-henti merusak kewibawaan Nabi Musa dengan melontarkan fitnahan dan berbagai hasutan maka habislah kesabaran Nabi Musa, lalu berdoa ia kepada Allah agar menurunkan azab-Nya atas diri Qarun yang sombong itu, agar menjadi pelajaran dan ibrah bagi kaumnya yang sudah mulai goyah imannya melihat kenikmatan yang berlimpah-limpah yang telah Allah karuniakan kepada Qarun yang membangkang itu.
Maka dengan izin Allah yang telah memperkenankan doa Nabi Musa terjadilah tanah runtuh yang dahsyat di atas bangunan gedung-gedung yang mewah tempat tinggal Qarun dan tempat penimbunan kekayaannya. Tenggelamlah seketika Qarun hidup-hidup berserta semua kekayaan yang menjadi kebaggaannya.
Peristiwa yang menimpa Qarun dan harta kekayaannya itu menjadi ibrah bagi pengikut-pengikut Nabi Musa serta obat rohani bagi mereka yang beriri hati dan mendambakan kenikmatan dan kemewahan hidup sebagaimana yang telah dialami oleh Qarun.
Mereka berkata seraya bersyukur kepada Allah: "Sekiranya Allah telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, niscaya kami dibenamkan pula seperti Qarun yang selalu kami inginkan kedudukan duniawinya. Sesungguhnya kami telah tersesat ketika kami beriri hati dan mendambakan kekayaannya yang membawa binasa baginya. Benar-benar tidaklah beruntung orang-orang yang mengingkari nikmat Allah."
Isi cerita tersebut di atas dapat dibaca dalam surat "Qashash" ayat 76 hingga 82 dan surat "Al-Ahzaab" ayat 69.
Thalout diangkat sebagai raja Bani Isra'il
Setelah Bani Isra'il memasuki Palestin dan menguasainya di bawah pimpinan Yusya bin Nun mereka selalu menjadi sasaran penyerbuan dan serangan dari bangsa-bangsa sekelilingnya, seperti suku Amaliqah dari bangsa Arab, bangsa Palestin sendiri dan bangsa Aramiyin. Kemenangan dan kekalahan di antara mereka silih berganti.
Pada suatu ketika datanglah bangsa Palestin penduduk "Usydud" suatu daerah dekat Gaza menyerbu dan menyerang mereka dan terjadilah pertempuran yang berakhir dengan kemenangan bangsa Palestin yang berhasil, mencerai-beraikan Bani Israil dan merampas benda keramat mereka yang bernama "Tabout", yaitu sebuah peti tempat penyimpanan kitab Taurat.
Peti yang disebut Tabout itu adalah salah satu dari banyak karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada Bani Isra'il. Mereka menganggap Tabout itu suatu benda keramat yang dapat menimbulkan kekuatan dan keberanian kepada mereka dikala menghadapi musuh. Maka karenanya dalam tiap medan perang dibawanyalah Tabout itu untuk memberi kekuatan batin dan semangat juang bagi mereka, memberi rasa berani bagi mereka dan rasa takut bagi musuh. Maka dengan dirampasnya Tabout itu oleh bangsa Palestin hilanglah pegangan mereka dan berantakanlah barisannya, retaklah kesatuannya.
Dan memang sejak ditinggalkan oleh Nabi Musa, Bani Isra'il tidak mempunyai seorang raja atau seorang pemimpin yang berwibawa yang dapat mengikat mereka di bawah satu bendera dan menghimpun mereka di bawah satu komando bila terjadi serangan dari luar dan penyerbuan oleh musuh. Mereka hanya dipimpin oleh hakim-hakim penghulu yang memberi tuntunan kepada mereka dalam bidang keagamaan dan kadangkala menjadi juru damai jika timbul perselisihan dan sengketa di antara sesama mereka. Di antara penghulu itu terdapat seorang penghulu yang paling disegani dan di hormati bernama Somu'il. Kata-katanya selalu didengar dan nasehat-nasehatnya selalu diterima dan ditaati.
Kepada Somu'il datanglah beberapa pemuda Bani Isra'il yang merasa sedih melihat keadaan kaumnya menjadi kacau dan bercerai berai setelah dikalahkan oleh bangsa Palestin dan dikeluarkan dari negeri mereka serta dirampasnya Tabout yang merupakan peti wasiat dan benda keramat bagi mereka.
Mereka mengutarakan kepada Somu'il bahwa mereka memerlukan seorang pemimpin yang kuat yang berwibawa dan mempunyai kekuasaan sebagai seorang raja untuk menghimpun mereka dan seterusnya menjadi panglima perang.
Somu'il yang mengenal baik watak mereka dan titik-titik kelemahan serta sifat-sifat licik dan pembangkang yang melekat pada diri mereka berkata: "Aku khawatir bahwa kamu akan takut dan enggan bertempur melawan musuh bila kepadamu diperintahkan untuk berperang menghalau musuh dari negerimu."
Mereka menjawab: "Bagaimana kami menolak perintah semacam itu dan enggan maju bertempur melawan musuh sedangkan kami telah dihina diusir dari rumah-rumah kami dan dipisahkan dari sanak keluarga kami. Bukankah suatu hal yang memalukan bila dalam keadaan yang sedang kami alami ini, kami masih juga enggan berperang melawan musuh yang datang menyerang dan menyerbu daerah kami. Kami akan maju dan tidak akan gentar masuk dalam medan perang, asalkan saja kami dapat pimpinan dari seorang yang pantas, berani serta berwibawa sehingga komandonya dan segala perintahnya akan dipatuhi oleh kami semuanya."
Somu'il berkata: "Jika demikian ketetapan hatimu dan demikian pula keinginanmu untuk memperoleh seorang raja yang akan memimpin dan membimbing kamu, maka berilah waktu kepadaku untuk beristikharah memohon pertolongan Allah menunjukkan kepadaku seseorang yang patut dan layak menjadi raja bagimu."
Di dalam istikharahnya, Somuil mendapat ilham dan petunjuk dari Allah, agar ia memilih serta mengangkat seorang yang bernama "Thalout" menjadi raja Bani Isra'il. Dan walaupun ia belum pernah mendengar nama itu atau mengenal orangnya. Allah akan memberinya jalan dan tanda-tanda yang akan memungkinkan ia bertemu muka dengan orang itu dan mengenalinya dengan segera.
Thalout adalah seorang berbadan gemuk dan jangkung, tegak, kuat dan berparas tampan. Dari pancaran kedua matanya orang dapat mengetahui bahwa ia adalah seorang yang cerdik, pantas dan bijaksana, memiliki hati yang tabah dan berani. Ia hidup dan bertempat tinggal di sebuah desa yang agak terpencil sehingga tidak banyak dikenal orang, Ia hidup bersama ayahnya bercocok tanam dan memelihara hewan ternak.
Pada suatu hari di kala Thalout sedang sibuk bersama ayahnya mengurus tanah ladangnya terlepaslah dari kandang seekor keledai dari hewan-hewan peliharaannya dan menghilang. Pergilah Thalout bersama seorang kawan mencari keledai yang hilang itu di celah-celah lembah dan bukit-bukit di sekitar desanya, namun tidak berhasil menemukan kembali hewan yang terlepas itu. Akhirnya ia mengajak kawannya kembali karena khawatir ayahnya akan menjadi gelisah bila ia lebih lama meninggalkan rumahnya mencari keledai yang hilang itu.
Berkata sang kawan kepada Thalout: "Kita sekarang sudah berada di daerah Shuf tempat dimana Somu'il berada. Alangkah baiknya kalau kita pergi kepadanya menanyakan kalau-kalau ia dapat memberikan keterangan dan petunjuk kepada kita di mana kiranya kita dapat menemukan keledai itu. Ia adalah seorang nabi yang menerima petunjuk dari Tuhannya melalui para malaikat dan dia telah banyak mengungkap hal-hal ghaib yang ditanyakan oleh orang kepadanya."
Thalout menerima baik saran kawannya dan berangkatlah mereka berdua menuju tempat tinggal Somu'il. Di tengah-tengah perjalanan, mereka bertanya kepada beberapa gadis yang ditemuinya sedang menimba air dari sebuah sumur: "Di manakah tempat tinggal Nabi Somu'il?" "Tidak usah kamu cepat-cepat meneruskan perjalananmu. Somu'il sebentar lagi akan datang ke sini. Ia sedang ditunggu kedatangannya di atas bukit oleh rakyat tempat itu." Para gadis itu menjawab.
Ternyata bahwa belum selesai para gadis itu memberikan keteranagnnya, muncullah Somu'il dengan wajahnya yang berseri-seri memancarkan cahaya kenabian dan kealiman yang mengesankan.
Thalout segera mendekati Somu'il dan setelah saling pandang memandang, berkatalah Thalout: "Wahai Nabi Allah, kami datang menemuimu untuk memohon pertolongan yaitu dapatkah kiranya kami diberi keterangan dan petunjuk di manakah kami dapat menemukan kembali keledai kami yang telah terlepas dari kandang dan menghilang tidak kami temukan jejaknya walaupun sudah tiga hari kami berusaha mencarinya."
Somu'il setelah memandang wajah Thalout dengan teliti sadarlah ia bahwa inilah orangnya yang oleh Allah ditunjuk untuk menjadi raja pemimpin dan penguasa Bani Isra'il. Ia berkata kepada Thalout: "Keledai yang engaku cari itu sedang berada dalam perjalanan kembali ke kandangnya di tempat ayahmu. Janganlah engkau pusingkan dirimu dengan urusan keledai itu. karena aku memang mencarimu dan ingin menemuimu untuk urusan yang lebih besar dan lebih penting daripada soal keledai. Engaku telah dipilih oleh Allah untuk memimpin Bani Isra'il sebagai raja, mempersatukan barisan mereka yang sudah kacau serta membebaskan mereka dari musuh-musuh yang sedang menyerbu dan menduduki negeri mereka. Dan insya-Allah Tuhan akan menyertaimu memberi perlindungan kepadamu dan mengaruniai kemenangan dan kemujuran dalam segala sepak terajangmu."
Thalout menjawab: "Bagaimana aku dapat menjadi seorang raja dan pemimpin Bani Isra'il sedang aku ini seorang anak dusun cucu Benyamin yang paling susah, terasing dari pergaulan orang banyak, seorang anak tani dan penggembala hewan yang tidak dikenal orang?"
Berkata Somu'il: "Itu adalah kehendak Allah dan perintah-Nya. Dan lebih tahu pada siapa Ia meletakkan amanat dan tugas-tugas-Nya. Dialah yang menugaskan dan Dia pulalah yang akan melengkapi segala kekuranganmu. Bersyukurlah engkau atas nikmat dan karunia Allah ini. Terimalah tugas suci ini dengan keteguhan hati dan kepercayaan penuh akan pertolongan dan perlindungan Allah kepadamu."
Kemudian dipeganglah tangan Thalout, diangkatnya keatas seraya menghadap kepada kaumnya dan berkata: "Wahai kaumku, inilah orangnya yang oleh Allah telah dipilih untuk menjadi rajamu. Ia berkewajiban memimpin kamu dan mengurus segala urusanmu dengan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya dan kamu berkewajiban taat kepadanya, mematuhi segala perintahnya dan berdiri tegak di belakang komandonya.
Bersatu padulah kamu di bawah bendera raja Thalout dan bersiap-siaplah untuk berjuang melawan musuh-musuhmu."
Bani Isra'il yang sedang berkumpul mengerumuni somu'il mendengarkan pidato pelantikannya mengangkat Thalout sebagai raja, tercengang dan terkejut dan dengan mulut ternganga mereka melihat satu kepada yang lain, berpindah pandang mereka dari wajah Somu'il ke wajah thalout yang menandakan keheranan dan ketidak-puasan dengan pengangkatan itu. Selintas pun tidak terfikir oleh mereka bahwa seorang seperti Thalout yang susah dan miskin dan tidak dikenal orang ialah yang akan dipilih oleh Somu'il sebagai seorang raja bagi mereka.
Berkata mereka kepada Somu'il: "Bagaimana seorang seperti Thalout ini akan dapat memimpin kami sebagai raja padahal ia seorang yang miskin yang tidak dikenal orang dan pergaulan sehari-harinya hanya terbatas didesanya. selain itu ia bukan dari keturunan "Lawi" yang menurunkan para nabi Bani Israil, juga bukan dari keturunan "Yahuda" yang menurunkan raja-raja Bani Isra'il sejak dahulu kala. Ia pun tidak memiliki pengalaman dan kecekapan yang diperlukan oleh seorang raja untuk mengurus serta mempertahankan kerajaannya. Mengapa tidak dipilih saja seorang daripada mereka yang berada di kota yang pandai-pandai, berpengalaman dan berkeadaan cukup?"
berkata Somu'il menanggapi keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh kaumnya: "Pengurusan kerajaan dan pemimpin perang tidak memerlukan kebangsawanan atau kekayaan. Ia memerlukan kecekapan, kebijaksanaan, kecerdasan berfikir dan kecekatan bertindak. sifat-sifat itu terdapat dalam diri Thalout di samping ia memiliki tubuh yang kuat, perawakan yang tegap dan kekar serta paras muka yang tampan yang memberi kesan baik bagi orang-orang yang menghadapinya. Selain itu semuanya, ia adalah pilihan Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal hamba-hamba-Nya. Maka tidak patutlah memilih orang lain setelah Allah menjatuhkan pilihan-Nya."
"Baiklah", kata mereka, "Jika yang demikian itu pilihan dan kehendak Allah, maka kami tidak dapat berbuat lain selain menerima kenyataan ini. Akan tetapi untuk menghilangkan keragu-raguan kami tentang diri Thalout, berilah kepada kami suatu tanda yang dapat menyakinkan kami bahwa Thalout benar-benar pilihan Allah."
Somu'il menjawab: "Sesungguhnya Allah telah mengetahui watak dan tabiat kamu yang kaku dan keras kepala. Imanmu tidak berada di dalam hati tetapi di kelopak mata. Kamu tidak mempercayai sesuatu tanpa bukti yang dapat kamu rasa dengan pancaindera kamu. Maka sebagai bukti bahwa Allah merestui pengangkatan Thalout menjadi raja kamu, ialah bahwa kamu akan menemukan kembali peti keramatmu "Tabout" yang telah hilang dan dirampas oleh bangsa Palestin. Kamu akan menemukan itu datang kepadamu dibawa oleh malaikat.
Pergilah kamu keluar kota sekarang juga untuk menerimanya."
Setelah terbukti benar kata-kata Somu'il dengan ditemuinya kembali Tabout yang sudah tujuh bulan berada di tangan orang-orang Palestin itu, maka diterimalah pengangkatan Thalout sebagai raja mereka dengan memberikan bai'at kepadanya dan janji akan taat serta mematuhi segala nasehat dan perintahnya.
Raja Thalout
Tugas pertama yang dilakukan oleh Thalout setelah dinobatkan sebagai raja ialah menyusun kekuatan dengan menghimpunkan para pemuda dan orang-orang yang masih kuat untuk menjadi tentara yang akan mengahdapi bangsa Palestin yang terkenal kuat dan berani.
Ia menyusun bala tentaranya dari orang-orang yang masih kuat, tidak mempunyai tanggungan keluarga, tidak mempunyai ikatan-ikatan dagang usaha sehingga dapat membulatkan tekadnya untuk berjuang dan memusatkan fikiran dan tenaganya untuk mencapai kemenangan dan mengusir musuh dari negeri mereka dengan semangat yang teguh yang tidak tergoyahkan. Sebagai ujian untuk mengetahui sampai sejauh mana rakyatnya atau barisan tentaranya yang disusun itu berdisiplin mengikuti komando dan perintahnya, Thalout berkata mereka: "Kamu dalam perjalananmu di bawah terik panasnya matahari akan melalui sebuah sungai. Maka barang siapa di antara kamu minum dari air sungai itu, ia bukan pengikutku yang setia yang dapat kupercayai kesungguhan hatinya. Sebaliknya barangsiapa di antara kamu yang hanya menciduk air sungai itu seciduk tangan untuk sekedar membasahi kerongkongannya, maka ia ialah seorang pengikutku dan tentara yang benar-benar dapat kuandalkan keberaniannya dan kedisiplinannya."
Ternyata apa yang dikhawatirkan oleh Thalout telah terjadi dan menjadi kenyataan. Setiba barisan tentara Thalout di sungai yang dimaksudkan itu, hanya sebagian kecil sajalah dari mereka yang berdisiplin mengikuti petunjuk Thalout secara tepat. Sedang bagian yang besar tidak dapat bersabar menahan dahaganya dan minumlah mereka dari air sungai itu sepuas-puas hatinya.
Walaupun telah terjadi pelanggaran disiplin oleh sebagian besar dari anggota tentaranya, thalout tetap berkeras hati melanjutkan perjalanannya menuju ke medan perang dengan pasukan yang tidak bersatu padu dan berdisiplin. Ia hanya bersandar dan mengandalkan kekuatan tentaranya kepada bagian kecil yang sudah setia dan patuh kepada perintah dan petunjuknya. Sedang terhadap mereka yang sudah melanggar perintahnya dan minum dari air sungai itu, Thalout bersikap sabar, lunak dan bijaksana untuk menghindari keretakan di dalam barisan tentaranya sebelum menghadapi musuh.
Tatkala mereka tiba di medan perang dan berhadapan dengan musuh, sebagian daripada pasukan Thalout ialah mereka yang telah melanggar disiplin dan minum dari air sungai, merasa kecil hati dan ketakutan melihat pasukan musuh yang terdiri dari orang-orang kuat dan besar-besar dengan peralatan yang lebih lengkap dan jumlah tentara yang lebih besar di bawah pimpinan seorang komandan bernama "Jalout".
Jalout, panglima komandan pasukan musuh terkenal seorang panglima yang berani, pantas dan terkenal tidak pernah kalah dalam peperangan. Tiap orang yang berani bertarung dengan dia pasti jatuh terbunuh. Namanya telah menimbulkan rasa takut dan kecil hati pada bagian besar dari pasukan Thalout.
berkata mereka kepadanya: "Kami tidak berdaya dan tidak akan sanggup menghadapi dan melawan Jalout berserta tentaranya hari ini. Mereka lebih lengkap peralatannya dan lebih besar jumlahnya daripada pasukan kami."
Akan tetapi kelompok yang setia yang merupakan golongan yang kecil dalam pasukan Thalout, tidak merasa takut dan gentar menghadapi Jalout dan bala tentaranya, walaupun mereka lebih besar dan lebih lengkap peralatannya karena mereka keluar ke medan perang mengikuti Thalout dengan tekad yang bulat hendak membebaskan negerinya dari para penyerbu dengan berbekal tawakkal dan iman kepada Allah. Sejak mereka melangkahkan kaki keluar dari rumah mereka sudah berniat bulat berjuang mati-matian melawan musuh yang telah merampas rumah dan tanah mereka dan bersedia mati untuk tugas suci itu. Berkata mereka kepada kawan-kawannya kelompok pengecut itu: "Majulah terus untuk bertempur melawan musuh. Kami tidak akan kalah karena jumlah yang sedikit atau karena kelemahan fisik. Kami akan membawa kemenangan bila iman di dalam dada kami tidak tergoyahkan dan kepercayaan kami akan pertolongan Allah tidak menipis. Berapa banyak sudah terjadi, bahwa kelompok yang kecil jumlahnya mengalahkan kelompok yang besar, bila Allah mengizinkannya dan memberikan pertolongan-Nya. Dan Allah selalu berada di sisi orang-orang yang beriman, sabar dan bertawakkal."
Dengan tidak menghiraukan kasak-kusuk dan bisikan kelompok pengecut yang ingin mundur dan melarikan diri dari kewajiban berperang, Raja Thalout terus maju memimpin pasukannya seraya bertawakkal kepada Allah memohon pertolongan dan perlindungan-Nya.
Setelah kedua pasukan merapat berhadapan satu dengan yang lain dan pertempuran dimulai, keluarlah dari tengah-tengah barisan bangsa Palestin, panglima besarnya yang bernama Jalout berteriak dengan sekuat suaranya menantang pasukan Thalout mengajak bertarung satu lawan satu Berulang-ulang ia berseru dengan suara yang lantang agar pihak Thalout mengeluarkan seorang yang akan melawan dia bertanding dan bertarung namun tidak seorang pun keluar dari tengah pasukan Bani Isra'il menghadapinya. Kata-kata ejekan dan hinaan dilontarkan oleh Jalout kepada pihak musuhnya, pasukan Bani Isra'il yang sedang dicekam oleh rasa takut dan bimbang menghadapi Jalout yang sudah termasyur sebagai jagoan yang tidak pernah terkalahkan itu.
Pada saat yang kritis dan tegang itu di mana rasa malu rendah diri memenuhi dada dan hati para pemimpin pasukan Bani Isra'il yang sedang memandang satu kepada yang lain, seraya bertanya-tanya dalam hati masing-masing, siapakah di antara mereka yang dapat maju membungkam, mulut si Jalout yang berteriak-teriak itu dan melawannya, datanglah pada saat itu menghadap raja Thalout seorang lelaki remaja berparas tampan, bertubuh kekar dan tegak, sinar matanya memancarkan keberanian dan kecerdasan. Ia meminta izin dari sang raja untuk keluar menyambut tentangan Jalout dan bertanding.
Thalout merasa kagum akan keberanian pemuda yang telah menawarkan dirinya untuk bertarung dengan Jalout, sementara orang-orang dari pasukannya sendiri yang sudah berpengalaman berperang tidak ada yang tergerak hatinya untuk melawan Jalout yang berteriak-teriak melontarkan ejekan dan hinaan. Thalout dengan cermat memperhatikan perawakan sang pemuda itu merasa berat dan ragu-ragu untuk memberi izin kepadanya melawan Jalout. Ia tidak membayangkan seorang dalam usia semuda itu, yang belum pernah turun ke medan perang dan tidak berpengalaman bertarung akan selamat dan keluar hidup dari pertarungan melawan Jalout. Ia benar-benar bukan tandingannya, kata hati Thalout, bahkan merupakan suatu dosa bila ia melepaskan pemuda itu bertarung dengan Jalout. Sayang untuk usianya yang masih muda itu bila ia akan menjadi korban pedang Jalout yang tidak pernah memberi ampun kepada lawan-lawannya.
Sang pemuda dengan memperhatikan muka Thalout dapat menangkap isi hatinya bahwa ia ragu-ragu dan bimbang untuk melepaskannya bertarung dengan Jalout maka berkatalah ia kepadanya: "Janganlah engkau terpengaruh oleh usia mudaku dan keadaan fisikku yang menjadikan engkau ragu-ragu dan khawatir melepaskan aku melawan Jalout karena yang menentukan dalam pertarungan bukanlah hanya kekuatan fisik dan kebesaran badan akan tetapi yang lebih penting dari itu ialah keteguhan hati dan keuletan bertempur serta iman dan kepercayaan kepada Allah yang menentukan hidup matinya seorang hamba-Nya. beberapa hari yang lalu aku telah berhasil menangkap seekor singa dan membunuhnya tatkala ia hendak menyergap dombaku dan sebelum itu terjadi pula aku menghadang seekor beruang yang ganas dan berhasil membunuhnya setelah bergulat mati-matian. Maka bukanlah usia atau kekuatan badan yang merupakan faktor yang menentukan dalam pertempuran tetapi keberanian dan keteguhan hati serta kelincahan dan kecepatan bergerak dengan disertai perhitungan yang tepat, itulah merupakan senjata yang lebih ampuh dalam setiap pertarungan."
Mendengar kata-kata yang penuh semangat yang keluar dari hati yang ikhlas dan jujur sadarlah Thalout bahwa pemuda itu berkemauan keras ingin melawan Jalout. Ia percaya kepada dirinya sendiri bahwa ia dapat mengalahkannya maka diberinyalah izin dan restu oleh Thalout untuk melaksanakan kehendaknya dengan diiringi doa semoga Allah melindunginya dan mengurniainya kemenangan yang diharap-harapkan oleh seluruh anggota pasukan. Kemudian ia diberinya pedang, topi baja dan zirah baju besi namun ia enggan mengenakan pakaian yang berat itu dan pedang pun ia menolak untuk membawanya dengan alasan ia belum biasa menggunakan senjata itu. Ia hanya membawa sebuah tongkat beberapa batu kerikil dan sebuah ketapel untuk melemparkan batu-batu itu.
Berkatalah Thalout kepadanya: "Bagaimana engkau dapat bertarung dengan hanya bersenjatakan tongkat, ketapel dan batu-batu melawan Jalout yang bersenjatakan pedang, panah dan berpakaian lengkap?"
Pemuda itu menjawab: "Tuhan yang telah melindungiku dan taring singa dan kuku beruang akan melindungiku pula dari pedang dan panah Jalout yang durhaka itu." Lalu dengan berbekalkan senjata yang sangat sederhana itu, keluarlah ia dari tengah-tengah barisan Bani Isra'il menuju gelanggang di mana Jalout sedang menari-nari mengelu-elukan pedangnya seraya berteriak-teriak mengejek dan menyombangkan diri.
Tatkala Jalout melihat bahwa yang masuk gelanggang hendak bertanding dengan dia adalah seorang pemuda remaja tidak bersenjatakan pedang atau panah dan tidak pula mengenakan topi baja dan zirah, dihinalah ia dan diejek dengan kata-kata: "Untuk apakah tongkat yang engkau bawa itu. Untuk mengejar anjingkah atau untuk memukul anak-anak yang sebaya dengan engkau? Di mana pedangmu dan zirahmu? Rupa-rupanya engkau sudah bosan hidup dan ingin mati padahal engkau masih muda yang belum merasakan suka-dukanya kehidupan. Majulah engkau ke sini akan aku habiskan nyawamu seketika dan akan kujadikan dagingmu makanan yang lezat bagi binatang-binatang di darat dan burung-burung di udara."
Sang pemuda menjawab: "Engkau boleh bangga dengan zirah dan topi bajamu, boleh merasa kuat dan ampuh dengan pedang dan panahmu yang tidak akan sanggup menyelamatkan nyawamu dari tanganku yang masih halus dan bersih ini. Aku datang ke sini dengan nama Allah Tuhan Bani Isra'il yang telah lama engkau hina, engkau jajah dan engkau tundukkan. Engkau sebentar lagi akan mengetahui pedang dan panahkah yang akan mengakhiri hayatku atau kehendak Allah dan kekuasaan-Nya yang akan meranggut nyawamu dan mengirimkan engkau ke neraka Jahannam?"
Melihat Jalout melangkah maju, maka sebelum ia sempat mendekatinya, sang pemuda segera mengeluarkan batu dari sakunya, melemparkannya dengan ketapel tepat ke arah kepala Jalout yang seketika itu juga mengalirkan darah dengan derasnya hingga menutupi kedua matanya, lalu diikuti dengan lemparan batu kedua dan ketiga oleh sang pemuda hingga terjatuhlah Jalout di atas lantai menghembuskan nafas terakhirnya.
Bergemuruhlah suara teriakan gembira dan sorak-sorai dari pihak pasukan Bani Isra'il menyambut kemenangan pemuda gagah perkasa itu atas Jalout jagoan dan kebanggaan bangsa Palestin. Dan dengan matinya Jalout hilanglah semangat tempur pasukan Palestin dan mundurlah mereka melarikan diri seraya dikejar dan dihajar tanpa ampun oleh pasukan Thalout yang telah memperoleh kembali semangat juang dan harga dirinya.
Isi cerita di atas dikisahkan oleh Al-Quran dalam surat "Al-Baqarah" ayat 246 hingga 251.
Catatan tambahan
Nabi Musa wafat pada usia 150 tahun di atas sebuah bukit bernama "Nabi", di mana ia diperintahkan oleh Allah untuk melihat tanah suci yang dijanjikan (Palestin) namun tidak sampai memasukinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar